Jumat, 23 Oktober 2015

KEMANUSIAAN UNIVERSAL


Pendahuluan         
Indonesia dipengaruhi dan memengaruhi realitas global, dan oleh karena itu, tidak bisa melepaskan diri dari komitmen kemanusiaan universal. Komitmen perjuangan kemanusiaan secara ideal bersifat universal, namun pelaksanaannya secara historis-sosiologis bersifat partikular. Komitmen untuk menjunjung tinggi kemanusiaan universal yang adil dan beradab itu mengandung implikasi ganda. Seperti yang diunkapkan oleh Soekarno, “kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme”, melainkan “kebangsaan yang menuju kepada kekeluargaan bangsa-bangsa” (internasionalisme). Di sisi lain, nilai-nilai kemanusiaa universal itu hanyalah bermakna sejauh bisa dibumikan dalam konteks sosio-historis partikularitas bangsa-bangsa yang heterogen. Bab ini akan menguraikan kontekstualisasi sila kedua pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dalam polotik kebangsaan Indonesia.

Perspektif Historis
Sejak zaman es, wilayah Nisantara yang berada disekitar garis khatulistiwa telah menjadi tempat yang kondusif bagi kehidupan manusia purba dan menjadi jalur persinggahan terpenting dalam arus imigrasi homo sapiens dari Afrika Timur.

            Kondisi lingkungan alam-geologis Nusantara yang bersifat vulkanis juga sejak dahulu memengaruhi kehidupan manusia di seantero dunia. Jelle Zeilinga De Boer dan Donald Theodore Sanders meneybutkan bahwa ada 4 gunung berapi yang letusannya paling dahsyat dan paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Tiga dari empat gunung tersesbut berada di Indonesia (Gunung Toba, Gunung Tambora dan Gunung Krakatau). Ketiga letusan gunung tersebut dahulu kala telah membuat dampak yang begitu besar bagi kehidupan manusia.

            Setelah zaman es berakhir dan Nusantara menjadi gugus kepulauan, nenek moyang bangsa Indonesia merupakan perintis dan penarik arus-arus pelayaran internasional yang membuka jalan ke arah globalisasi. Posisi strategis geografi Nusantara dengan kekayaan dan kemolekan alamnya menjadi faktor yang menarik kedatangan berbagai arus peradaban dunia.

Nusantara sebagai Perintis Jalan Globalisasi
            Nusantara adalah nama file yang menyimpan memori tentang kejayaan kita sebagai bangsa bahari di muka bumi. Nusantara pernah mencapai kemegahannya sebagai kesatuan maritim, sebagai kekuatan laut yang jaya. Di masa keemasan Nusantara sebagai negeri bahari, lautan menjadi faktor penghubung yang mempertautkan hubungan komunikasi sosial antarpulau dan kemudian antarbenua.

            Mohammad Hatta memiliki catatan, berkat letak dan keadaan geografisnya, sudah sejak awal milenium masehi, nenek moyang bangsa Indonesia mempunyai hubungan dengan China, India Belakang dan India Muka, Parsi, dan Arab. Dia mengingatkan bahwa pada saat pelaut-pelau Nusantara menjelajahi samudera Hindia dan tepi-tepi Asia dari lautan Pasifik dengan kapal-kapal mereka, orang China lebih mementingkan pertanian daripada pelayaran.

            Sebagai pemula alam penjelajahan samudera, dan sebagai kekuatan maritim yang jaya pada saat kontak-kontak antarbenua berbasis laut, bisa dikatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia merupakan perintis dari “globalisasi purba”.

Arus Balik: Globalisasi di Nusantara
Arus-arus peradaban tidaklah bergerak satu arah. Perjuangan antarperadaban membawa proses saling belajar. Teknologi pelayaran Nusantara dipelajari dan dikembangkan oleh komunitas-komunitas peradaban lain. Sebaliknya, para penjelajah Nusantara mengambil dan mengembangkan nilai-nilai dan pengetahuan dari peradaban lain.

            Melalui proses persilangan dan perdagangan, terjadilah arus masuk nilai-nilai budaya dan agama semasa ke Nusantara, terutama dari India, Arab, Persia, China dan Eropa. Sedemikian ramainya penetrasi global silih berganti sehingga Nusantara sebagai tempat persilangan jalan tidak pernah sempat berkembang tanpa gangguan dan pengaruh dari luar.

            Pengaruh Indianisasi (Hindu-Budha) mulai dirasakan pada abad ke-5, bersama kemunculan dua erajaan yan terkenal, Kerajaan Mulawarman di Kalimantan Timur dan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.

            Pengaruh Islamisasi mulai dirasakan secara kuat pada abad ke-13 dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Kerajaan Samudera-Pasai di sekitar Aceh. Kehadiran islam membawa perubahan penting dalam pandangan dunia dan etos masyarakat Nuaantara, terutama pada mulanya bagi masyarakat wilayah pesisir. Islam meratakan jalan bagi modernitas dengan memunculkan masyarakat perkotaan dengan konsepsi “pribadi’ yang mengarah pada pertanggungjawaban individu, serta konsepsi waktu yang “linear”, menggantikan konsepsi sejarah yang melingkar.

            Pengaruh China dirasakan setidaknya abad ke-14. Kehadiran anasir China berperan penting dalam memperkenalkan dan mengembangkan teknik produksi pelbagai komoditi, pemanfaatan laut untuk perikanan, pembudidayaan tiram dan udang, dan pembuatan garam, pengadopsian teknik, serta perlengkapan perdagangan, gaya hidup, peran sosial-budaya klenteng, serta keterlibatan ulama keturunan Chuna dalam proses Islamisasi.

            Pengaruh pembaratan diperkenalkan oleh kehadiran Portugis pada abad ke-16, disusul Belanda dan Inggris. Pengaruh pembaratan membawa mentalitas modern yang telah dibuka oleh pengaruh Islam menuju perkembangan yang lebih luas dan dalam. Pada bidang sosial-ekonomi, pengaruh barat memunculkan sistem perkebunan, perusahaan dan perbankan modern. Pada bidang sosial-politik, pengaruhnya dirasakan pada modernisasi tata-kelola negara dan masyarakat. Pada bidang sosial-budaya, pengaruhnya tampak pada kehadiran lembaga pendidikan dan penelitian modern, perkembangantulisan latin, percetakan dan pers, dangaya hidup.

            Memasuki paruh abad ke-19, pergulatan pengaruh peradaban global di Nusantara mengalami proses intensifikasi. Intensifikasi ini didorong oleh luberan konflik sosial dan ideologi pada tingkat global, yang difasilitasi oleh sistem komunikasi dan transportasi modern, serta munculnya respons-respons baru di daerah-daerah jajahan. Intensifikasi global ini juga membawa efek mimikri bagi masyarakat Nusantara yang mdnimbulkan perubahan mentalitas dan harapan kemajuan.

Stimulus Pembaratan bagi Kesadaran Kemajuan
Revolusi industri (sejak 1700-an) membawa perubahan juga konflik dalam hubungan eksternal dan internal bangsa-bangsa.Dalam kasus yang terakhir ini, konflik berantai terjadi antara kelas borjuis dengan kaum aristokrat (kelas penguasa tradisional).Adapun perlawanan terhadap borjuasi ditandai oleh kemunculan gerakan-gerakan sosialis dan pemikiran sosialisme sejak 1830-an, disusul oleh perlawanan kelas pekerja terhadap kekuatan borjuasi.
Di satu sisi, ada usaha arus balik ke masa praindustrial dengan dengan memimpikan restorasi tatanan dunia lama. Di sisi lain, ada arus visi ke depan dengan memimpikan pengadopsian tatanan baru yang sepadan dengan tantangan industrial. Salah seorang pemikir perintis yang mengarahkan visinya ke depan, dengan melihat implikasi industrialisasi bagi tatanan kehidupan sosial di masa datang, adalah pemikir Perancis Claude Saint Simon (1760-1825). Dalam pandangannya, dampak perkembangan sains dan teknologi bagi masyarakat menuntut penggantian kelas penguasa tradisional, yang bersifat aristokratis dan berwawasan pedesaan, oleh elite baru yang mewakili kekuatan ekonomi dan intelektual baru. Dalam perkembangan lebih lanjut, menyadari bahwa elite baru (kelas borjuis) yang muncul juga membawa sumber penindasan baru, pemikiran sosialisme bergerak lebih jauh untuk menuntut egalitarianisme yang lebih tuntas dengan menawarkan konsepsi perjuangan kelas pekerja.
Liberal di negeri Belanda yang dipimpin oleh Jan Rudolf Thorbecke merubah haluan Undang-undang Dasar dari konsevatisme menjadi liberalisme, dan mendapat dukungan dari kekuatan borjuasi Liberal yang sadar politik. Dengan kredo kaum Liberal tentang “kebebasan menanam”, “kebebasan mempekerjakan buruh”, dan “kepemilikan pribadi”, mereka mendesak pemerintahan kolonial untuk melindungi modal swasta untuk mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan-kesempatan untuk menjalankan usaha atau perkebunan baru.
Kehadiran rezim Liberal membawa intensifikasi proses pembaratan. Ambisi-ambisi perekonomiannya membawa konsekuensi berupa keperluan akan reformasi institusional, dengan dukungan infrastruktur, dan perbaikan layanan birokrasi, yang menuntut adanya pelbagai modernisasi. Tuntutan-tuntutan tersebut membuka jalan bagi introduksi institusi-institusi pendidikan bergaya Barat di Indonesia.
Menjelang akhir abad ke-19, era kolonial Liberal tidak berlangsung lama dengan kesepakatan reorientasi partai-partai politik berbasis agama. Ini terjadi pada tahun 1888 ketika posisi Kaum Konservatif yang lama digantikan oleh aliansi dari kaum Anti-Revolusioner dan Kalvinis dengan “Kaum Romanis”, yang meninggalkan sekutu kaum Liberal mereka dan membentuk sayap kanan, Partai Kristen baru.
Peralihan dukungan publik bagi Partai Kristen didorong oleh kemerosotan secara terus-menerus dalam kehidupan sosial di Hindia Belanda sebagai akibat dari stagnasi ekonomi, kegagalan panen, penyakit ternak, kelaparan dan kondisi-kondisi kesehatan yang buruk, yang dipandang sebagai konsekuensi dari kebijakan ekonomi Liberal. Pada pemilihan umum tahun 1901, Partai Kristen memenangkan kekuasaan karena posisinya sebagai pembela tanggung jawab moral sosialistis.Orientasi yang baru memperlakukan Hindia Belanda ini dikenal sebagai “Politik Etis”.
Dibawah Politik Etis, educatie (pendidikan), irrigatie (irigasi), dan emigratie (transmigrasi) menjadi prioritas dari program kesejahteraan (yang berwatak etis). Sistem pendidikan warisan rezim Liberal direorganisi melalui dua pendekatan yang saling melengkapi.Snouck Hurgronje dan direktur pendidikan politik etis yang pertama, yaitu J.H Abendanon, lebih menyukai pendidikan yang bersifat elitis. Di sisi lain, Gubernur Jenderal J.B Van Heutz (1904-1909) dan A.W.F Idenburg (1909-1916) mendukung pendidikan yang lebih dasar dan praktis.
Kombinasi dari pendekatan-pendekatan semacam itu membawa perluasan akses persekolahan dan meningkatkan taraf pendidikan hingga level universitas.Dari trayek ini, muncullah kaum inteligensia sebagai strata terdidik yang memiliki status dan identitas kolektif tersendiri. Penguasaan mereka atas bahasa Eropa, dibarengi oleh kehadiran bahan pustaka dan industri penerbitan, memberi mereka kemampuan membuka kunci “republika susastera” semesta, sebagai gudang oengetahuan dan informasi termaju.
Semua itu memiliki konsekuensi penguasaan modal cultural baru dan meningkatkan ekspektasi kaum inteligensia yang mendorong gerakan ke arah kemadjoean.
Bagi gugus manusia baru, kemadjoean mengekspresikan suatu kehendak untuk mencapai status sosial yang ideal : kemajuan pendidikan, modernisasi, kehormatan, dan keberhasilan dalam hidup. Dalam menyuarakan kemadjoean, didirikan media cetak serta organisasi priyayi baru.Perkembangan ini disusul oleh kehadiran pelbagai organisasi modern yang berorientasi kemajuan, salah satunya adalah Budi Utomo yang didirikan pada tahun 1908.Gerakan-gerakan kemadjoean inilah yang membuka jalan bagi kebangkitan nasional.

Stimulus Islam bagi Kesadaran Kemajuan
Bersamaan dengan intensifikasi arus pembaratan, pusat-pusat Islam di pelbagai belahan bumi menghadirkan respon tandingan atas hegemoni Barat di Dunia Muslim yang dikenal sebagai gerakan “reformasi Islam”.
Reformasi Islam memiliki asal usul pada pergerakan ulama dan kaum Sufi abad ke-17 dan 18. Berawal di Arabia dan Kairo dan kemudian menyebar luas ke bagian-bagian wilayah Muslim yang lain. Mereka berusaha menghapuskan pemujaan yang dianggap bid’ah dengan membuang semua kepercayaan dan praktik takhayul atau sihir, serta menentang kecenderungan para penguasa di negeri-negeri Muslim untuk bekerjasama dengan kaum kolonial.
Pada paruh kedua abad ke-19, muncullah gerakan “modernisme Islam” yang mencoba memadukan unsure-unsur positif Dunia Barat dan Dunia Islam. Singkat kata, “modernisme Islam” merupakan ideologi dari para elite baru di dunia Muslim yang peduli dengan perkembangan negara dengan metode-metode, kemajuan saintifik dan teknologi modern, namun tetap mempertahankan Islam sebagai basis kultural dari kekuasaan dan masyarakat.
Dengan pemikiran-pemikiran generasi baru dari gerakan modernisme Islam menciptakan hibrida yakni “reformasi modernisme Islam” dikarenakan tuntutan agama terhadap ilmu yang lebih tinggi dibanding generasi terdahulu.
Salah seorang murid generasi lama, Muhammad ‘Abduh (1849-1905), diangkat menjadi mufti (ahli hokum fiqih yang berwenang untuk memberi fatwa tentang hukum Islam) dari tahun 1889 sampai dengan tahun 1905. Focus perhatian ‘Abduh sebagai mufti adalah memodernisasi hukum Island an merevisi kurikulum-kurikulim lama dengan memasukkan sejarah modern dan geografi. Inti dari kepeduliannya ialah bagaimana mempertahankan vitalitas Islam sambil mengadopsi cara-cara Barat.Dengan itu dia menjadi pelopor gerakan hibrida “refomasi modernisme Islam” di bawah bendera gerakan Salafiyah.
Peralihan abad 19/20, para ulama Nusantara yang terpengaruh gerakan reformasi modernisme Islam melakukan usaha-usaha modernisasi terhadap lembaga pendidikan Islam tradisional (surau di Sumatera Barat, meunasah di Aceh, dan pesantren di Jawa).Dari trayek ini, muncullah “ulama-intelek” yang dengan jaringan madrasahnya mengembangkan institusi-institusi sosial, dan organisasi-organisasi keagamaan baru.Beberapa contohnya adalah pembentukan Sarekat Dagang Islam (1908) dalam bidang sosial ekonomi, dll.Kehadiran institusi-institusi tersebut berperan penting dalam meluaskan gerakan kemadjoean dan ruang publik modern dan sel-sel inti pembaratan.

Stimulus China bagi Kesadaran Kemajuan
Memasuki abad ke-19, terjadi juga intensifikasi arus China di Nusantara.Berkat kecakapan keturunan Tionghoa dalam perdagangan, pemerintah kolonial memanfaatkannya sebagai agen perantara bagi pasar dalam negeri.Untuk mencegah terjadinya integrasi kekuatan ekonomi keturunan Tionghoa dengan kekuatan pilitik Boemipoetra, yang bisa membahayakan kekuasaan kolonial sejak zaman VOC.Namun kebijakan ini tidak selamanya efektif karena banyak orang-orang Tionghoa memilih menjadi bagian dari kelompok Boemipoetra seperti setelah “Pemberontakan China” di Batavia pada 1740.
Orang-orang Tionghoa menjadi katalis dalam pengembangan industri penerbitan dan pers vernakular (berbahasa local), yang memainkan peran penting sebagai perangsang dan penyebar gagasan kemadjoean.Dalam perkembangannya, kemunculan industri pers vernakular berdampak signifikan bagi perkembangan bahasa-bahasa vernakular.
Selain berperan penting dalam pengembangan bahasa dan sastra Melayu, keturunan Tionghoa juga turut berjasa dalam memperluas penggunaan huruf Romawi/Wumi, yang merupakan kunci penting pembuka kemajuan dunia saat itu.Seiring dengan usaha pendirian industri pendirian industri media, orang-orang Tionghoa juga mengadopsi klub-klub sosial dan sistem pendidikan bergaya Eropa, yang membuat mereka selangkah lebih maju dalam trayej menuju kemajuan.
Dengan menyebar luasnya pers vernakular, definisi-definisi atas realitas sosial yang tersedia bagi komunitas inteligensia semakin banyak yang berasal dari orang-orang asing yang berjarak jauh, dari kelompok-kelompok yang secara geografis, kultural, dan histories juga jauh, dan yang mungkin bertentangan dengan apa yang disajikan oleh elite lokal yang mapan dan rezim-rezim kolonial.
Sumber dari inspirasi kebangkitan itu bukan hanya dari Barat yang menjadi penjelmaan kemadjoean, namun juga dari Timur yang ‘’terbangun dari tidurnya”.Demikianlah, kemajuan keturunan Tionghoa dan kebangkitan nasionalisme di China serta pelbagai negeri lainnya di Asia memberi inspirasi bagi gerakan-gerakan kemajuan dan kebangkitan di Tanah Air.


Negosiasi antarperadaban dalam konstruksi kebangsaan Indonesia
Awal dekade kedua abad ke-20, pergumulan antararus peradaban itu mengalami gelombang pasang. Gerakan – gerakan sosial intelegensia menjadi beraneka bentuk. Ekspresi dari beragam gerakan ini dalam ruang publik dimungkinkan dan juga dibatasi oleh struktur peluang politik yang ada, oleh pengaruh-pengaruh eksternal, dan juga oleh dinamika internal dalam komunitas intelegensia.
Struktur peluang politik pada decade ini mencerminkan karakter khas kepemimpinan gubernur Jenderal Idenburg (1909-1916) dan penerus nya Van Limburg Stirum (1916-1921), yang tergolong kaum ethici progresif  yang memiliki kepedulian besar terhadap kemajuan dan pergerakan di tanah jajahan.
Dalam tahun-tahun kepemimpinan Idenburg, kelompok-kelompok misi Kristen memperoleh angin segar, karena selain dia seorang ethici progresif , dia juga seorang pendukung partai Kristen yang gigih, dengan cepat misi Kristen meluaskan aktivitasnya dalam ranah luas. Infeksifikasi uasaha kristenisasi ini berbenturan dengan intensifikasi dengan islamisasi.
Selain aktivitas Kristen dan islam, intensitas sentimen- sentimen keagamaan di ruang public hindia menjadi memanas oleh adanya kegiatan dakwah dari ordo-ordo spiritual dan sekte-sekte agama yang baru. Pada dekade kedua dari abad ke duapuluh, perhimpunan-perhimpunan keagamaa baru seperti ini secara aktif merekrut pada anggotanya, terutama dari segmen masyarakat kota yang tercabut sdari akarnya.
Faktor lain yang menyebabkan makin memanaskan ruang public dalam dekade tersebut adalah meningkatnya kepercayaan diri orang-orang keturunan tionghoa. Melambungnya kepercayaan diri ini mengubah sikap mental mereka dalam relasinya dengan penguasa dan komunitas lain tanah air (shiraishi, 1990:35-38)
Pada dekade ini, orang-orang pernakan campuran Eropa-Indonesia (indo) juga meramaikan public dengan mendirikan partai politik hindia pertama berbasis multiculturalisme, indische partij (IP). Dipimpi oleh seorang jurnalis indo, E.F.E Douwes Dekker, plus dua orang intelektuak pribumi, Tjipto mangunkusumo dan Suwardi Surjaningrat , partai ini berusaha mengupayakan suatu aliansi antara orang-orang indo dan orang-orang hindia pribumi yang terdidik, untuk memperjuangkan kesedejahteraan hak dengan para penduduk keturunan Eropa. Dalam usaha ini, mereka mulai mempromosikan “nasionalisme Hindia” yang menidealkan suatu identitas bersama berdasarkan kriteria kewargaan (kependudukan) Hindia ketimbang atas dasar kriteria etnik atau agama (Mcvey, 1965: 18 ; Van Niel, 1970: 63)
Last but not least, dekade ini juga ditandai oleh keterlibatan langsung organisasi-organisasi politik Belanda dalam urusan-urusan politik Hindia. Dalam dekade inilah benih-benih marxisme dan komunisme revolusioner mulai secara sistematis disemaikan di bumi Hindia. Para propagandis marxisme/komunisme menggenapi ketegangan ruang public dengan membentuk himpunan-himpunan kiri. Dimulai dengan kampanye sosialisme melalui aktivitas-aktivitas jurnalistik dan serikat buruh pekerja kereta api (VSTP), sneevliet melangkah lebih jauh dengan mengorganisasi sebuah pertemuan orang-orang sosial democrat di Surabaya pada 9 mei 1914, yang menghasilkan pembentukan indische sociaal- democratische Vereeniging (ISDV) dalam perkembangan lebih lanjut ISDV mengembangkan kecenderungan-kecenderuangan revolusioner, terutama setelah mendapatkan stimulus baru dan keberhasilan revolusi komunis (Bolsheviks) di Rusia pada 1917, yang menyebabkan elemen-elemen sosialis yang lebih moderat di bawah pimpinan Ch.C. Cramer memisahkan diri dan membentuk Partai sosial demokrat Hindia sebagai cabang dari SDAP di negeri Belanda (Furnivall, 1944: 248).
Meskipun anggota ISDV dan ISDP, paling tidak untuk beberapa tahun kebanyakan terdiri dari orang-orang belanda, ideologi marxisme/komunisme mempengaruhi wacana public dan mendorong lahirnya sebuah kelompok intelegensia politik/komunis pribumi yaitu “Sama Rata Hindia Bergerak” yang didirikan di Surabaya pada 1917 dibawah inisiatif Adolf  Baars. Perhimpunan ini hnaya bertahan satu tahun, tetapi usaha yang lebih serius untuk membentuk kader-kader sosialis radikal di kalangan pribumi dikerjakan oleh ISDV.
Melalui strategi “blok dalam” (block within), yaitu strategi penyemaian kader komunis dalam organisasi tertentu, terutama dalam tubuh Serikat Islam yang luas pengaruhnya, komunisme secara cepat memperoleh banyak pengikut. Kerjasama antara kader-kader komunis di dalam dan di luar SI membentuk perserikatan komunis di India pada 1920 dan setelah kader-kadernya di dalam SI dikeluarkan pada 1921, perserikatan ini bermetamorfosis menjadi PKI pada 1924.
Pendirian himpunan-himpunan kiri di Hindia menggoda kelompok-kelompok politik lain di Belanda untuk mengembangkan sayapnya di tanah jajahan. ISDV disaingi  dengan berdirinya Nederlandsch Indische Vrijzinnige Bond (NIVB, perhimpunan liberal) pada akhir tahun 1916. Himpunan ini memiliki hubungan dengan kaum liberal moderat di Negari Belanda dan didirikan dengan tujuan untuk menyatukan kelangan progresif . lalu munculah partai-partai seperti Partai Etis Kristen (CEP) dan Partai Katolik Hindia (IKP) masing-masing pada tahun 1917 dan 1918. CEP dan IKP mempromosikan otonomi yang lebih luas bagi Hindia, namun dengan memiliki “asosiai” yang kuat dengan negeri Belanda serta untuk menjadikan Kristen sebagai basis ideology Negara. Semua organisasi ini merekrut keanggotaan campuran yang terdiri dari kaum blijvers, kaum trekkers, orang-orang timus asing, dan para elit hindia.
Dibawah bayang-bayang kesadaran sosial dan kepentingan yang yang saling bersaing, beragam gerakan sosial tumbuh dengan mengekspresikan keanekaragaman ideologis.kesadaran kemajuan dan pembebasan kaum terjajah muncul disepanjang garis perbedaan identitas kolektif .situasi ini mendorong kebangkitan protonasionalisme berbasis kesamaan identitas etnis, agama dan kelas.
Perbenturan antaridentitas kolektif terjadi antara lain karena unsur-unsur “tradisi kecil” dalam lokalitas tertentu mempertautkan diri dengan “tradisi besar” berskala global. Pada setiap “tradisi besar” ada elemen kosmopolitanisme dengan klaim totalitas universal yang besifat eksklusif dan berpotensi menimbulkan benturan antarperadaban. Beruntunglah, betapapun terjadi persaingan, kesemuanya dipersatukan oleh komitmen pada pembebasan kemanusiaan, untuk menghadirkan keadilan dan keadaban bagi kaum terjajah. Dalam kenyataan lokal, selalu terbuka kemungkinan proses penyerbukan silang budaya antarperadaban, sehingga setiap peradaban, tidak menampakan diri sebagai total paket yang monolitik, melainkan suatu mozaik yang mengandung keragaman yang member peliang bagi proses negosiasi, percampuran, dan kerjasama lintas-peradaban.
Demikianlah, ideologi pan-islamisme Al-Afghani dan reformisme-modernisme islam ala ‘Abduh pada mulanya memang menjadi sumber inspirasi bagi perumusan ideologi islam di tanah air sebagai respon  terhadap kolonialisme dan kehadiran komunisme. Pengaruh kehadiran inelektual kiri dan relevansi doktrin-doktrin sosialis bagi rakyat terjajah juga menstimulus para intelektual islam untuk memodifikasi ideologi dengan mengkombinasikan nya dengan Al-quran, kombinasi ini dikenal sebagai “sosialisme Islam” terlebih setelah kekhalifahan (ottoman) di Turki sebagai jantung Pan-Islamisme dihapukan oleh Mustafa Kemal pada bulan februari 1924.
Disisi lain kosmopolitanisme komunitsa internasional juga terbukti memerlukan adaptasi terhadap realitas lokal. Tan malaka, dalam kapasitas sebagai seorang pemimpin komunis sejak akhir 1921, berusaha meredakan ketegangan antara para pemimpin komunis dan islam sebelum ditangkap pada bulan maret 1922.
Begitu juga dengan ketertarikan komunitas tionghoa pada kosmopolitanisme tiongkok, terjadi penyesuaian yang di timbulkan baik oleh realitas di “hulu” maupun di “hilir”. Di China sendiri, doktrin kosmopolitanisme mendapatkan tandingan dari konsepsi nasionalisme yang dikembangkan Sut Yat Sen, sedangkan di tanah air, komunitas tionghoa nyatanya tidaklah monolitik. Bahkan dalam perkembangannya, kemudian muncul pula partai politi Tionghoa Indonesia, yang bercorak nasionalis.
Munculnya gerakana nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia membawa pengaruh besar kepada kalangan keturunan Tionghoa di Indonesia untuk terserap ke dalam orbit semangat kebangsaan Indonesia.
Demikian pula halnya dengan komunitas Kriten-Katolik, secara perlahan mereka melepaskan keterikatannya dengan kekritenan Eropa, seperti melalui pengembangan gereja-gereja suku. Proses negosiasi dan persilangan budaya antar peradaban itu mengarah pada penguatan komitmen bersama pada situasi kesengsaraan ekonomi dan penindasan politik yang makin mencengkram, memburuknya perekonomian Hindia pasca-perang dunia I dan depresi ekonomi dunia yang hebat pada 1930-an menyediakan lahan yang subur bagi merajalelanya radikalisme. Ditengah meluasnya semangat perlawanan politik, pe,erintah colonial berusaha mengekang potensi ketidakpatuhan ini dengan mengencangkan rezim rust en orde (ketentaman dan ketertiban) yang bersifat represif.
Situasi penderitaan bersama ini memunculkan semangat emansipasi yang digali dari pelbagai unsur peradaban dan pengalaman. Semangat emansipasi ini mendorong gerakan anti-kolonialisme yang mengarah pada usaha penciptaan komuitas impian bersama “imagined political community” yang melampaui eksklusivitas identitas-identitas komunialisme.
Peluang kearah penciptaan kearah komunis politik bersama itu itu dibuka oleh penggunaan keode “Indonesia” sebagai kode kebangsaan baru, yang di populerkan oelh para aktivis mahasisa Indonesia si Belanda, hal ini di tandai dengan berubah nya nama indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging pada tahun 1922, dan diubah kagi menjadi “perhimounan Indonesia” pada tahun 1924.
Salah seorang tokoh yang paling menonjol dari PI adalah Mohammad hatta. Dalam sebelas tahun masa studinya di Belanda (1921-1931), dia mempelajari aneka pemikiran, ideologi, dan pergerakan dunia semasa, terlibat dalam wacana publik, mengurus organisasi, berceramah di berbagai perkumpulan di Eropa, dan ikut serta dalam gerakan internasional menentang kolonialisme. Mengikuti secara seksama perkembangan gerakan-gerakan nasionalis di tanah air, dia dan anggota dan anggota PI lainnya kecewa karena gerakan-gerakan itu bukan hanya gagal membentuk sebuah organisasi berbasis massa yang kuat untuk melawan Belanda, mrlainkan juga terperangkap dalam spiral rivalitas di antara mereka sendiri.
Para intelektual PI percaya bahwa kecenderungan PKI untuk menggunakan kekerasan dan kerusuhan massa secara premature hanya akan mengakibatkan hilangnya nyawa rakyat Indonseia secara sia-sia, dengan menolak ideologi Islam, komunisme, dan nasionalisme kesukuan(etna-nasionalisme) sebagai basis bagi kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia, PI mengajukan konsepsi ideologi dengan berusaha mencari sintesis antarperadaban.
Persatuan nasional berarti keharusan untuk melakukan pengikatan bersama dari ragam ideologi dan identitas (etnis,agama,dan kelas) ke dalam front perjuangan bersama untuk melawan kolonial,persatuan nasional merupakan tema utama dari indsiche partij, non-kooperasi merupakan platform politik kaum komunis, dan kemandirian merupakan tema dari Serekat Islam.
Tidak lama berselang, para pemimpin perhimpunan mahasiswa nusantara di kairo, djama’ah Al Chairiah (berdiri 1922), seperti Iljas Ja’kub dan Muchtar Litfi, pasca kegagalan kongres islam sedunia di Kairo dan Mekkah, tidak melihat lagi relevansi dari proyek Pan Islamisme, kedua orang tersebut memimpin partai persatuan muslimin Indonesia (PMI) pada tahun 1932, dengan slogan “Islam dan Kebangsaan”, yang memrpersatukan diri dengan gerakan nasionalisme modern (Ricklefs, 1993: 190)
Seperti halnya para aktivis mahsiswa di negeri yang terobsesi dengan ide blok nasional. Soekarno dan para mahasiswa aktivis lainnya di Hindia juga menganut idela ang sama. Algemene studieclub (ASC) berdiri di Bandung pada tahun 1926. Pada tahun 1926 Soekarno menulis esai dalam majalah milik ASC, Indonesia moeda, dengan judul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang mengidealkan sintesis dari ideologi-ideologi besar tersebut demi terciptanya senyawa peradaban dalam kerangka konstruksi kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia. Dalam pandangan Soekarno, pergerakan rakyat Indonesia mempunyai tiga sifat : “nasionalisme, islamistis, dan marxistis”, lebih kanjut dia katakana, adalah mungkin bagi kaum nasionalis untuk bekerja sama dengan kaum islamis dan marxis.
Selain itu, dikatakan bahwa kaum marxis pun bias memiliki komitmen pada persatuan nasional. Dalam konteks perjuangan nasional, “kita kini melihat persahabatan kaum marxis dengan kaum nasionalisndi negeri tiongkok; dan kita melihat persahabatan kaum marxis dengan kaum islamis di negeri Afganistan”. Dalam pandangannya, teori marxisme itu bias berubah dan bahwa marx dan engels itu bukanlah nabi-nabi yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala zaman.
Di sisi lain, karena ada stimulus pemikiran dan pergerakan internasional dalam formasi kebangsaan Indonesia, nasionalisme Indonesia membalas kontribusi internasional ini dengan mengembangkan nasionalisme yang lapang, yang mempertautkan diri dengan kemanusiaan universal dalam pergaulan antarbangsa (internasionalisme), solidaritas internasional ini pada awal pertumbuhan nya terutama dipertautkan dengan bangsa-bangsa terjajah lainnya, terutama di Asia sebagai kawasan terdekat, dengan mengembangkan perasaan senasib-sepenanggungan dalam kerangka “Revolusi Asia” atau “Pan-Asiatisme”. Hatta menyebut kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905 dalam merebut kembali semenanjung Liaotung sebagai pangkal kebangkitan Asia. Lebih lanjut dikatakan, selain kemenangan Jepang atas Rusia (1905), keberhasilan Revolusi Rusia (1917) member contoh baru bagi pergerakan kebangsaan di India tentang bagaimana melawan pemerintah, yang menguatkan sayap kiri pergerakan rakyat. Sementara itu, politik devide-et-impera-nya-lord Curzon juga dipatahkan oleh kebesaran Mahatma Gandhi yang dapat menyatukan umat Hindu dan Muslim yang dalam kerapatan besar di Amristar (Desember 1919), akhirnya Hatta menyatakan bahwa revolusi Asia serta Pan-Asiatisme memberitahukan, “bahwa matahari telah tinggi serta memaksa penduduk Indonesia turut serta memaksa penduduk Indonesia turut berkejar-kejara dengan bangsa lain menuju padang kemajuan dan kemerdekaan. Selain dengan itu, soekarno dalam tulisannya di suluh Indonesia muda (1928), “ Inodesia dan Pan-Asiatisme”, menyatakan bahwa, “paham Pan-Asiatisme ini pasti dapat hidup dan bangkit di dalam pergerakan kita. Sebab persatuan nasib antara bangsa-bangsa Asia pastilah melahirkan persatuan perangai, persatuan nasib pastilah melahirkan persatuan rasa.
Dengan kesadaran akan persatuan rasa kemanusian antar bangsa menjadi jelas bahwa sosok nasionalisme yang hendak dikembangkan bangsa Indonesia adalah nasionalisme luas, yang berdimensi international.
Hubungan sibiosis antara internasionalisme dan nasionalisme ini memperoleh dimensi baru selama pendudukan jepang, pada masa perang dunia(1942-1945). Penduduk jepang sejak januari 1942 merupakan momen penempaan bagi penguatan nasionalisme Indonesia. Kemenangan mudah jepang atas belanda menciptakan kesan yang luar biasa bagi orang-orang Indonesia.
Jepang sendiri datang ke Indonesia dengan mencitrakan diri sebagai “Saudara Tua Asia” dan pada awalnya, jepang membangkitkan perasaan umum bahwa mereka dating sebagai pembebas. Karena itulah, kedatangan mereka oleh banyak kalangan disambut secara antusias.
Dalam perkembangannya,peralihan kekuasan dari penjajah lama ke penjajah baru memang tidak ubahnya bak sebuah peribahasa : “Lepas dari mulut buaya , masuk mulut harimau”. Meski demikian, kepentingan perang jepang secara tidak terduga menghadirkan sebuah katalis bagi konsolidasi nasionalisme Indonesia.
Penduduk Jepang , dengan fokusnya pada usaha-usaha kemiliteran, menunjukan perhatian yang setengah hati pada persekolahan konvensional, namun dengan penuh semangat memperkenalkan jenis pendidikan baru yang di butuhkan bagi upaya perang Jepang, yaitu pendidikan militer dan para militer.
Dengan “janji“ memberikan hak pemerintahan sendiri kepada bangsa Indonesia dikemudian hari, Jepang mensponsori pendirian sebuah payung organisasi nasionalis yang inklusif pada 9 Maret 1943, bernama Pusat Tenaga Kerja (PUTERA). Gerakan ini menyatukan seluruh perhmpunan politik maupun nonpolitik terdahulu di Jawa dan Madura, dan di pimpin oleh 4serangkai. Soekarno sebagai ketua, Hatta sebagai wakil ketua, dengan Suwardi Surdjaningrat (Ki Hajat Dewantara) dan seorang pemimpin reformismodernis muslim terkemuka, Mas Mansur, sebagai anggota.
Dibawah naungan PUTERA, pihak Jepang membentuk sejumlah organisasi militer dengan system hierarki komando menurut garis kewibawaan tradisional, pernghormatan kepada orangtua di pandang dapat membuahkan kesetian, disiplin, dan kesediaan berkorban. Salah satu yang penting ialah Sukarela Tentara Pembela Tanah Air (PETA), yang didirikan pada bulan September 1943. Bagi Jepang, organisasi-organisasi ini merupakan sarana untuk merebut dukungan rakyat Indonesia terhadap usaha-usaha perang Jepang. Namun, bagi para  pemimpin nasionalis, hal itu dijadikan kendaraan untuk memperluas kontak mereka dengan massa yang pada masa pemerintahan kolonial Belanda sangat dibatasi (kahin, 1952:108)
Melalui struktur barisan-barisan militer seperti barisan pelopor (sejak September 1944) sebagai lascar (Garda Pembela) dari Djawa hokokai, dan hisbullah (sejak desember 1944) sebagai laskar dari masyumi, hubungan diantara kaum terpelajar dipusat-pusat kota dengan kaum tidak terpelajar dipinggiran kota, kota kecil, dan pedesaan terbentuk. pendidikan yang kaku dan batas-batas antar elite dan nonelite yang terbangun sejak lama akibat kebijakan-kebijakan kolonial mulai luluh.
Namun, yang menjadi sebab utamanya ialah berlangsungnya komunikasi antara pemuda terpelajar dan nonterpelajar yang sama-sama menjadi anggota laskar tertentu, yang memungkinkan ideologis nasionalis mencapai makna konkretnya.
Jejak-jejak terakhir warisan Jepang dalam konstruksi kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia adalah perannya dalam mensponsori pembentukan BPUPK dan PPKI. Dalam desain Jepang, kemerdekaan Indonesia itu merupakan suatu mata rantai dalam lingkungan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya, meski dalam perkembangannya, kenyataan historis kekalahan Jepang dari Sekutu dalam Perang Pasifik memberi peluang bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan pilihan dan orientasi internasional nya tersendiri.

Kemanusiaan (internasionalisme) dalam perumusan pancasila dan konstitusi
                Kemanusiaan yang adil dan beradab memiliki akar yang kuat dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Sila ini mengandung berbagai unsur pendapat dari para founding fathers bangsa Indonesia. Berikut ini adalah sekilah sejarah dari terciptanya berbagai upaya penegakkan kemanusiaan dan HAM.

            Diawali dari pandangan Radjiman Wediodiningrat yang mengutamakan nilai kegotong royongan di Indonesia ketika melawan jepang. Semangat kegotong royongan yang dilontarkan Radjiman ini mendapat peneguhan di persidangan BPUPK, Muhammad Yamin diawal persidangan telah menyebutkan, tujuan kemerdekaan dengan salah satu dasarnya adalah “kemanusiaan” (internasionalisme). Prinsip ini memperoleh formulasi yang lebih jelas dalam pidato Soekarno ketika menguraikan Pancasila pada siding BPUPK, 1 Juni 1945.

            Dalam prinsip kebangsaan yang Seekarno tekankan sebagai prinsip pertama, Soekarno juga mengingatkan bahaya dari prinsip kebangsaan itu. Salah satunya adalah Chauvinisme, yaitu mengagungkan bangsa sendiri, dan merendahkan bangsa lain. Seperti yang terjadi pada Eropa, dengan Deutschland uber allesnya, dan lain-lain. Soekarno menekankan bahwa prinsip kebangsaan Indonesia harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia, dan kekeluargaan bangsa-bangsa. Oleh karena itu Soekarno mengutip pernyataan Mahatma Gandhi, “my nationalism is humanity”. Inilah prinsip kedua yang ia namakan internasionalisme atau peri kemanusiaan. Selanjutnya Soekarno menekankan, yang ia maksud internasionalisme bukanlah kosmopolitanisme, yang tidak mau adanya kebangsaan. Menurutnya, Internasionalisme dan nasionalisme saling berkaitan. Kedua-duanya saling membutuhkan.

            Dalam rancangan pebukaan UUD, peletakan prinsip internasionalisme itu terletak sebagai sila kedua dari Pancasila. Kemudian  kata kemanusiaan ditambahkan dengan sifat adil dan beradab, menjadi kemanusiaan yang adil dan beradab. Orientasinya sendiri bersifat ganda, kedalam dengan memuliakan hak asasi manusia sebagai individu maupun kelompok, dan keluar dengan ikut memperjuangkan kedamaian dan keadilan dunia.

            Pada pembukaan UUD 1945, komitmen kemanusiaan terkandung di semua alinea, terutama alinea pertama dan keempat. Dalam pembukaan ini terlihat jelas bahwa pendiri bangsa tidak sekedar menginginkan berdirinya suatu bangsa, namun memiliki argumen yang kuat dalam persoalan hidup dan beroperasinya Negara. Argumen yang pertama menegaskan bahwa kolonialisme adalah penindasan atas manusia dan atas bangsa. Argumen yang kedua adalah self determination yang nantinya menjadi fondasi dasar dari HAM.
            Selanjutnya mengenai isu HAM, terjadi masalah dalam hubungannya dengan konsep Negara kekeluargaan. Namun sebenarnya dai awal telah disebutkan bahwa konsep Negara kekeluargaan ini tidak bercorak tunggal, melainkan perpaduan dari banyak unsur. Kemudian kebijakan ini menimbulkan banyak pro dan kontra.

            Pada rapat Besar 11 Juli 1945, Moh. Yamin mengatakan bahwa tiap konstitusi dari bangsa merdeka terbentuk atas tiga bagian, yaitu Declaration of Rights, Declaration of Independence, dan konstitusi. Atas pendapat ini, Soepomo menyatakan ketidak setujuannya, karena Declaration of Rights sendiri berdasar pada individualisme. Atas perbedaan pendapat ini, Soekarno mengajukan alternatif, yaitu membuat Declaration of Rights dalam suasana kekeluargaan. Tentang ide ini, Soepomo setuju terhadap Declaration of Rights. Agus Salim mempunyai pendapat lain. Baginya tidak penting paham apa yang dianut, yang terpenting adalah dalam hukum dasar harus terdapat pagar-pagar penjaga keadilan supaya keadilan itu sendiri tetap berlaku.

            Pada Rapat Besar 15 Juli 1945, Soekarno menegaskan bahwa dengan diterimanya rancangan pembukaan UUD, anggota telah mufakat bahwa dasar, falsafah, dan sistem yang dipakai dalam penyusunan rancangan UUD adalah dasar kekeluargaan (gotong royong). Maka Soekarno menegaskan, bangsa Indonesia harus mengenyahkan pikiran dan paham individualisme dan liberalisme. Soepomo memperjelas lagi, sebenarnya bukannya dalam Negara yang bersifat kekeluargaan tidak ada jaminan bagi hak dasar individu, tetapi menghendaki agar warga lebih mengedepankan pemenuhan kewajiban daripada sekedar menuntut hak.

            Setelah itu, Moh. Hatta menghendaki agar ada jaminan yang lebih tegas atas hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat dalam konstitusi, demi mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan dengan dalih semangat kekeluargaan. Harus dihindari kemungkinan Negara kekeluargaan berubah menjadi Negara kekuasaan. Oleh karena itu menurutnya perlu dimasukkan beberapa pasal mengenai hak warga Negara. Usul Hatta ini mendapat dukungan dari Soekiman dan M. Yamin. Soekiman memandang bahwa perlu mempererat perhubungan pembentukan Negara dengan jiwa rakyat. Sedangkan M. Yamin mengusulkan agar aturan kemerdekaan warga Negara dimasukkan kedalam Undang-Undang Dasar.

            Dari berbagai argument tersebut, akhirnya pada tanggal 15 Juli juga Soepomo bersedia menempuh pilihan komromistis, namun tetap tidak akan menentang sistematik dari rancangan anggaran dasar. Bentuk komprominya adalah dalam UUD dapat ditambahkan pasal yang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk bersidang dan berkumpul untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan lain lain yang diatur oleh Undang-Undang. Setelah itu terjadi beberapa perubahan terhadap pasal-pasal pada UUD.

             Meskipun pasal-pasal tentang hak dasar sendiri terbatas jumlahnya,  adanya pasal-pasal itu sendiri sudah meliputi apa yang kemudian disebut tiga generasi hak manusia, yaitu:
1.      Generasi pertama: hak sipil dan hak politik. Generasi ini terkait dengan hak sipil, yang terkait langsung dengan orientasi etis kemanusiaan dan juga konteks habeas corpus yang menjadi salah satu pilar hukum internasional. Hak ini menyangkut hak hidup, hak kebebasan beragama, hak untuk diproses secara hukum dengan seadil-adilnya, hak mengemukakan pendapat, dan hak untuk turut serta dalam pengambilan keputusan bersama.
2.      Generasi kedua: hak demokratis. Generasi kedua HAM terkait dengan proses sebuah Negara membuahkan kebijakan dalam kondisi yang memungkinkan suatu kehidupan semakin manusiawi. Hak yang termasuk adalah hak atas layanan kesehatan, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, dan hak atas jaminan sosial.
3.      Generasi ketiga: hak ekonomi social-kultural-kolektif. Generasi ketiga ini bagian dai pengakuan akan perlindungan keseluruhan kehidupan manusia, baik sekarang maupun yang akan dating, baik satu komunitas maupun antar komunitas. Yang termasuk didalamnya adalah hak hak atas perlindungan lingkungan, hak masyarakat adat, hak ekonomi dan pembangunan, hak penentuan nasib sendiri, dan sebagainya.

            Alhasil, walau dalam rumusan yang supel, secara substantive cakupan dan komitmen HAM dalam UUD 1945 telah merefleksikan tuntutan perlindungan HAM, dan mampu mengatasi apa yang kemudian akan tertuang dalam hak-hak asasi dari PBB. Bisa dipahami jika Moh. Hatta mengatakan bahwa UUD 1945 adalah UUD paling modern pada zamannya.
            Jelas kemudian bahwa Negara Indonesia adalah Negara kekeluargaan yang menghormati hak-hak asasi warga Negara dan manusia pada umumnya, sebagai individu maupun kelompok. Penghormatan Negara kekuasaan Indonesia ini semakin jelas sosoknya pada konstitusi RIS dan UUDS 1950. Dari aspek kedalam, komitmen untuk memuliakan HAM mendapat kerangka pengaturan yang lebih jelas dan komprehensif. Dari aspek keluar, komitmen Indonesia pada perdamaian dan keadilan dunia memperoleh landasan yang lebih kuat. Untuk selanjutnya, komitmen pada kemanusiaan dan HAM berlanjut pada siding konstituante.

            Sementara itu, muncul pula kritikan terhadap UUD tentang HAM yang hanya menyebut hak, tidak menyebut kewajiban. Hal ini didukung partai nasionalis yang  menyesalkan tidak adanya kewajiban warga Negara. Atas kritikan itu, kemudian pada 9 Desember 1958, panitia persiapan konstitusi berhasil melengkapi keputusan mengenai rancangan pasal UUD mengenai HAM, hak dan kewajiban warga Negara, yang berisi ketentuan mengenai 35 hak dan kewajiban. Panitia Persiapan Konstitusi juga telah berhasil mencapai keputusan mengenai 22 pasal tentang HAM dalam rancangan UUD baru. Meskipun demikian, sejarah berbicara lain, dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengembalikan ketentuan HAM seperti yang terkandung dalam UUD 1945. Tetapi, perlu diingat bahwa dengan kembalinya ke UUD 1945 pun, secara substantive tidak mengurangi komitmen bangsa Indonesia pada persoalan kemanusian universal dan  penghormatan HAM.

            Setelah melihat perkembangan perjalanan bangsa ini, jelas sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab tidak sembarangan dicetuskan. Sila ini memiliki akar yang kuat dalam historisitas kebangsaan Indonesia. Kemerdekaan Indonesia menghadirkan suatu bangsa yang memiliki wawasan global dengan kearifan local, memiliki komitmen pada ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, keadilan, serta pada pemuliaan HAM dalam suasana kekeluargaan kebangsaan Indonesia.

Perspektif Teoretis-Komparatif
Pentingnya merawat persaudaraan antarbangsa terbuti dari andil bangsa-bangsa lain dalam mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia secara de facto dan de jure. Dukungan internasional atas kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pertama kali muncul dari Dunia Arab. Mesir adalah negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia, disusul oleh negara-negara Liga Arab.
Seiring dengan itu, sejak Kabinet Sjahrir, mulai dirintis usaha membuka perwakilan Indonesia di luar negeri. Pada masa ini pula masalah Indonesia mulai dibahas di PBB pada Januari 1946 atas usul utusan Republik Sosialis Ukrania. Dukungan Internasional atas kemerdekaan Indonesia semakin terasa setelah agresi militer Belanda I. Dunia internasional menolak aksi Belanda ini. India dan Australia, pada 30 Juli 1947, langsung membawa masalah Indonesia ke dalam sidang Dewan Keamanan di Lake Success, Amerika Serikat. Perdana Menteri Amir Sjarifuddin mengirim surat pula pada tanggal 31 Juli 1947 agar masalah Indonesia dapat diselesaikan segera dalam sidang Dewan Keamanan tersebut.
Walau pelbagai pihak telah berupaya untuk menyelesaikan persengketaan Indonesia-Belanda, van Kleffens tetap menganggap bahwa Dewan Keamanan tidak berhak mencampuri pertikaian Indonesia-Belanda. Di satu pihak, Belanda mengakui Indonesia secara de facto melalui Perjanjian Linggarjati, di lain pihak, dia tidak dapat menyatakan lagi bahwa masalah Indonesia merupakan masalah dalam negeri Belanda.
India, sebagai negara yang mengajukan tuntutan mengenai pembahasan masalah Indonesia, diundang secara resmi dalam sidang itu. Belanda pun akhirnya diundang pula secara resmi guna didengar keterangannya mengenai kebijakan yang dijalankan. Usulan untuk mengundang Indonesia belum disetujui, namun perkembangan sidang menunjukkan bahwa angin kemenangan tengah berhembus ke Indonesia. Australia mengusulkan resolusi penghentian tembak-menembak serta pembentukan sebuah badan arbitrase sehingga tercapai kesepakatan diantara kedua pihak dalam menciptakan perdamaian dan keamanan.
Berkaitan dengan hal itu, Rusia, melalui Andrei A. Gromyko, berusaha melakukan amandemen terhadap resolusi Australia dan menyatakan bahwa penghentian tembak-menembak saja belum cukup. Kedua pihak harus menarik pasukannya ke batas demarkasi yang telah disepakati sebelumnya yang disebut “Garis van Mook”. Belanda tidak akan memperoleh manfaat dari Agresi Militernya terhadap Indonesia. Tentu saja usulan ini ditolak oleh sekutu Belanda.
Setelah tercapainya kesepakatan mengenai resolusi Dewan Keamanan, perhatian sidang lalu terfokus pada dua hal: 1) Kehadiran Indonesia dalam Sidang Dewan Keamanan, 2) Badan Arbitrase yang akan dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata di antara kedua belah pihak.
Australia dan Uni Soviet menganggap perlu untuk mengundang Indonesia dalam sidang Dewan Keamanan- walaupun belum menjadi anggota PBB karena telah memenuhi persyaratan menunjuk Piagam PBB pasal 2. Dengan mendengarkan penjelasan dari kedua belah pihak, akan diperoleh pandangan yang lebih objektif mengenai keadaan yang sedang terjadi di Indonesia.
Ketua delegasi Indonesia, Sutan Sjahrir, tampil ke depan podium guna menjelaskan perkembangan yang terjadi di Indonesia. Dalam pidatonya, Sjahrir menguraikan selama abad ke 14-15, Kerajaan Majapahit telah mampu memperluas ruang lingkup wilayah Indonesia, juga telah menjangkau ke arah Pulau Madagaskar (Afrika Timur). Di samping itu, hubungan dagang dengan Belanda telah dilakukan semenjak abad ke-15 melalui perusahaan besar VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie). Namun hubungan perdagangan hasil-hasil pertanian ini ternyata jauh lebih menguntungkan Belanda daripada Indonesia. Ini lantaran tidak terdapatnya “perusahaan besar” Indonesia yang mampu bertindak selaku counterpart VOC.
Ketika datang serbuan bala tentara Jepang dalam Perang Dunia II, pasukan Belanda lari ketakutan. Berbeda dengan Indonesia yang tetap bertahan. Akan tetapi ketika Jepang dikalahkan sekutu, Belanda secara “bersembunyi” datang ke Indonesia di belakang pasukan Inggris. Tugas pasukan Inggris sebenarnya hanyalah melucuti pasukan Jepang dan mengembalikan mereka ke kampung halamannya. Tidak ada tugas Inggris dan pasukan sekutu untuk mengembalikan Indonesia ke tangan Kerajaan Belanda. Di sinilah terdapat perbedaan pendapat antara Indonesia dengan Belanda. Rakyat Indonesia menganggap daerah bekas jajahan Belanda ini sebagai milik mereka sebenarnya. Maka, diproklamasikanlah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Bila Indonesia ini memang milik Belanda, tutur Sjahrir, seharusnya mereka mempertahankannya dari serangan siapapun yang hendak mengambil alih kepulauan ini. Tetapi itu tidak pernah mereka lakukan.
Di akhir ulasannya, Sjahrir menekankan agar Dewan Keamanan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan gencatan senjata, disamping perlunya dibentuk badan arbitrase yang akan menyelesaikan persengketaan di antara Indonesia.
Faris el-Khouri langsung melanjutkan sidang pada hari itu, sebab Dewan Keamanan dengan demikian dinyatakan berhak membahas dan mengambil keputusan terhadap sengketa Indonesia-Belanda. Pada 23 Agustus hingga 2 November 1949, digelar Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Hasilnya Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Segera setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Indonesia lebih erat mempertautkan diri dalam pergaulan antarbangsa dengan resmi menjadi anggota PBB pada 28 September 1950.

Dekalonisasi, Demokratisasi dan HAM dalam Konteks Perang Dingin
Dalam latar Internasional, kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia itu bertaut dengan gelombang dekolonisasi, terutama di Asia dan Afrika, pasca Perang Dunia II. Hasrat untuk menentukan nasib sendiri dan terbebas dari pelbagai bentuk penindasan, yang berasosiasi dengan kemenangan negara-negara demokrasi Barat yang telah mapan dalam Perang Dunia II, tampaknya menjadi salah satu alasan pokok mengapa banyak negara pasca-kolonial berpaling kepada sistem pemerintahan demokratis.
Gelombang dekolonisasi, demokratisasi dan perhatian internasional pada HAM ini menentukan sandungannya ketika dunia segera memasuki suasana Perang Dingin, yang menampilkan persaingan sengit, ketegangan dan kompetisi antara AS dan sekutunya (Blok Barat) dan US beserta sekutunya (Blok Timur) di pelbagai bidang kehidupan. Meskipun kedua negara adikuasa itu tidak pernah bertempur secara langsung, konflik diantara keduanya secara langsung atau pun tidak langsung telah menyebabkan pelbagai perang atau ketegangan, serta menghambat pelaksanaan proyek HAM PBB, baik dalam hubungan antarbangsa maupun di dalam bangsa-bangsa.

Posisi Indonesia dalam Konteks Perang Dingin
Memasuki suasana Perang dingin, Indonesia berusaha konsisten dengan prinsip yang menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak setiap bangsa dan warganya, serta prinsip yang menekankan ko-eksistensi damai dan secara aktif ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Prinsip kemanusiaan menurut alam pemikiran Pancasila menjadi sintesis antara pendukung ajaran Declaration of American Independence dan Manifesto Komunis. Soekarno mengatakan bahwa Indonesia tidak mengikuti konsep liberal maupun komunis, namun mempunyai sesuatu yang lebih cocok yaitu Pancasila.
Pilihan posisi Indonesia untuk memperjuangkan koeksistensi damai dalam suasana perang dingin itu dirumuskan oleh Mohammad Hatta dengan prinsip poliktik luar negeri bebas aktif. Ia menangkap potensi konflik internal antar kelompok elite sebgai luberan konflik eksternal setelah persetujuan Linggarjati dan Renville. Prokontra terhadap kedua persetujuan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah  kerajaan Belanda merupakan gambaran konkret dari dinamika poliktik internasional dari pertentangan politik antara adikuasa AS dan US. Hatta mulai memformulasikan adagium politik luar negeri yang bebas seraya tetap aktif memperjuangkan kemerdekaan, perdamaian, dan kadilan dalam pergaulan antarbangsa. Kemudian Indonesia terdorong untuk berperan aktif dalam mempromosikan gerakan non-blok.
Gerakan Non-Blok didirikan berdasarkan 10 prinsip dasar yang disepakati dalam KTT Asia-Afrika yang juga disebut sebagai Dasasila Bandung. Sebagaian diantaranya adalah menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan yang termuat dalam piagam PBB, menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa, mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, dsb.
Pilihan Indonesia atas politik luar negeri bebas aktif menempatkannya dalam perpaduan antara perspektif teori ‘idealisme politik’ dan ‘realisme politik dalam hubungan internasional. Sebagai tempat persilangan arus-arus internasional, Indonesia ikut hanyut dalam dekolonisaasi yang bertaut dengan gelombang kedua demokratisasi di bumi.
Setelah sekian lama berada di bawah dominasi asing yang tidak dijalankan dengan prinsip akuntabilitas yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat koloni, Indonesia mengalami kesulitan untuk mengembangkan pemerintahan yang memadai dan responsif dan juga karena pemerintah tidak mampu untuk memenuhi harapan rakyat. Ketegangan dalam kehidupan nasional yang bertaut dengan ketegangan internasional lantas diproyeksikan ke dalam sikap internasionalisme Indonesia.
Karena terdapat konfrontasi antara Indonesia-Malaysia, sebuah perang mengenai pulau Kalimantan, Soekarno kemudian manarik keanggotaan Indonesia dari PBB pada 20 Januari 1965. Kemudian pada 19 september 1966, Indonesia kembali menjadi anggota PBB.

Perbedaan  Perspektif tentang HAM: Universalisme vs Partikularisme
Akar kontroversi penerapan HAM di negara-negara Dunia Ketiga bermula dari perbedaan persepsi mengenai watak HAM sebagai eskpresi budaya. Terdapat dua narasi yaitu universalisme dan partikularisme yang mengakibatkan perbedaan pemahaman atas karakter HAM, pentingnya individu sebagai lawan hak masyarakat, dan penentuan waktu penahapan implementasi HAM dan penegakannya (Hernandez, 1995). Semua titik divergensi itu memunculkan rasa tidak percaya dan ekspresi permusuhan.
            Secara umum, kaum universalis menegaskan bahwa HAM adalah hak semua orang dan berasal dari konsep hukum alam yang menegaskan bahwa manusia memiliki hak alamiah tertentu untuk idup, bebas dan punya kepemilikan (Hernandez, 1995). Untuk memiliki HAM, seseorang harus dipandang sebagai manusia (Preis, 1996). HAM merupakan hak alami dan terkandung dalam diri manusia sejak manusia dilahirkan, jadi berlaku secara universal dan penguasa tidak boleh mengasingkannya dari warga negaranya.
            Persepsi kaum partikularis adalah norma-norma HAM tidak muncul dari ruang hampa melainkan dibentuk oleh seperangkat pengalaman masyarakat tertentu.  Karena setiap masyarakat memiliki kondisi sejarahnya tersendiri, hanya aspek-aspek HAM tertentu yang dapat diterapkan pada masyarakat tertentu, sehingga dapat berbeda-beda (Hernandez, 1995). Noerma-norma HAM merefleksikan aspirasi Barat sehingga merupakan sebuah konstruksi ‘etno-sentris’ dengan penerapan yang terbatas (Brems, 1997).Perspektif kaum partikularis menyatakan bahwa pondasi ontologis budaya dan masyarakat mereka, dan keterkaitan individu dengan individu lain dan masyarakat, dalam beberapa hal berbeda secara signifikan (Pollis, 1996).
            Titik divergensi ketiga berkenaan dengan isu status komparatif individu dan hak kolektif, karena kaum universalis lebih menekankan pada hak individu sedangkan kaum partikularis menekankan pada hak kolektif. Kaum partikularis juga menayatakan bahwa manusia lebih mengalami dirinya sendiri sebagai orang yang memiliki status turunan sebagai anggota kelompok yang lebih besar (keluarga, suku, kelas, bangsa, dll) dan lebih menekankan pada kewajiban dan tanggung jawab timbal-balik debandingkan dengan hak.
            Menurut mereka, implementasi HAM harus komprehensif dan menyatu, sedangkan kaum partikularis menyatakan bahwa meski HAM itu menyeluruh dan utuh, HAM harus dapandang dalam konteks satu proses dinamis negara-negara tertentu (Pollis, 1996).
Karena titik-titik divergensi tersebut,  masing-masing pihak menunjukkan saling tidak percaya dan curiga. Kaum universalis menuduh pemerintah negara Dunia Ketiga mengeksploitasi argumen partikularis untuk membenarkan kuatnya negara dan menerapkan tujuan-tujuan nasional demi kesejahteraan masyarakat (Cohen, 1996).  Sementara itu, kaum partikularis mengklaim bahwa alasan universalis digunakan pemerintah-pemerintah Barat sebagai senjata politik untuk menekan daya kompetitif ekonomi dalam pembangunan ekonomi. Mereka juga menuduh pemerintah negara-negara Barat tidak konsisten dan menggunakan standar ganda dalam menerapkan prinsip-prinsip HAM yang universal.

Persoalan HAM dan Relevansi Internasionalisme di Era Globalisasi
        Globalisasi modern dan postmodern menemukan pijakannya dari perlombaan gengsi antarnegara adikuasa yang mengarah pada penemuan teknologi mutakhir, terutama dalam bidang persenjataan. Pada 4 Oktober 1957, satelit pertama buatan manusia, “Sputnik 1”, diluncurkan oleh Uni Soviet. Pada 31 Juli 1958, AS berhasil meluncurkan satelit pertamanya, “Explorer 1”.
        Keberadaan satelit ini, yang kemudian disusul oleh penemuan fiber optic, serta aneka kecanggihan teknologi informasi dan telekomunikasi, menandai era baru dalam komunikasi antarmanusia. Menurut Anthony Giddens, globalisasi dini adalah intensifikasi relasi-relasi social dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa local dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi jauh di seberang dan begitu pun sebaliknya.
        Revolusi di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi membawa “distansiasi ruang-waktu” (time-space distanciation) sekaligus “pemadatan ruang-waktu” (time-space compression) yang merobohkan batas-batas ruang dan waktu konvensional. Dengan fenomena ini, globalisasi merestrukturisasi cara hidup umat manusia secara mendalam, nyaris pada setiap aspek kehidupan. Dampak yang ditimbulkan dari globalisasi bersifat mendia, yang dikenal dengan istilah “global paradox” dapat  memberi peluang dan hambatan, positif dan negative.
        Pada ruang lingkup Negara-bangsa (nation-state), di satu sisi, globalisasi menarik (pull away) sebagian dari kedaulatan Negara-bangsa dan komunitas lokal, tunduk pada arus global interpendence, yang membuat Negara-bangsa dirasa terlalu kecil untuk bisa mengatasi tantangan global. Kelemahan suatu elemen Negara terhadap penetrasi kekuatan  global ini bisa melumpuhkan dirinya, bahkan Negara adikuasa seperti Uni soviet menjadi korban globalisasi. Mismanajemen yang bertaut dengan tekanan globalisasi memaksa pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev meluncurkan program reformasi, perestroika dan glasnost. Bagi Indonesia sendiri, globalisasi modern membawa politik nasional ke pusaran gelombang demokratisasi ketiga di dunia. Gelombang demokratisasi ini melanda Indonesia ketika otoritas Negara mendaatkan tekanan yang serius dari penetrasi kekuatan global.
        Antara 1960 dan 2006, anggota PBB bertambah hampir dua kali lipat dari 99 menjadi 192, dengan pertambahan cepat terjadi menyusul kehancuran Blok-Timur (antara 1992-2006 terjadi penambahan sekitar 13 anggota baru). Seiring dengan itu, antara 1975 dan 2002, lebih dari 60 (asosiasi) kebangsaan diterima sebagai anggota baru Federation of International Football Association (FIFA). Bagi Indonesia sendiri, tekanan globalisasi yang bertaut dengan demokratisasi ini mendorong otonomisasi daerah dan pemekaran wilayah disertai kecenderungan revivalisme etno-religius. Perdagangan dunia saat ini jauh lebih luas cakupannya dan instan kecepatannya di banding periode mana pun dalam sejarah umat manusia, yang paling menonjol adalah lonjakan dalam tingkat arus financial dan capital yang difasilitasi oleh perekonomian elektronik.
        Globalisasi membelah dunia ke dalam pihak yang menang (winners) dan yang kalah (losers), serta menumbuhkan ketidaksetaraan baik secara internasional maupun dalam Negara-bangsa. Globalisasi bukan saja menimbulkan “global village” (dusun dunia), tetapi juga “global pillage” (perampasan dunia). Globalisasi juga menjadi kendaraan emas bagi para pendukung pasar bebas untuk mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi dalam skala mondial. Globalisasi dan perdagangan bebas juga mengandung kemungkinan gejala “penunggang bebasnya” (free riders) tersendiri, bahwa suatu organisasi bisa melakukan tindakan diluar tujuan awalnya, bahkan melakukan sesuatu yang berkebalikan. Hal inilah yang terjadi dengan IMF dan World Bank, ketika didirikan premis kebijakannya diletakkan pada pengandaian John Maynard Keynes, tetapi kemudian IMF menjadi pintu bagi terjadinya globalisasi korporasi dan juga kegiatan spekulasi tingkat dunia tanpa memerhatikan dampak tingkah lakunya.
        Liberalisasi perdagangan diikuti oleh kecenderungan berkurangnya kebebasan pemerintan nasional untuk menentukan kebijakannya, akibat dari adanya pengaruh kekuatan komersial (keuangan internasional dan multinasional) dan lembaga supra-nasional (Bank Dunia, IMF, dll). Dengan perluasan pasar tanpa kepedulian social, globalisasi pasar meningkatkan keridakseraan di dalam Negara, dan jurang pemisah yang semakin lebar antara Negara maju dan berkembang.
        Badan hak asasi manusia PBB telah mencermati dampak negative dari globalisasi pasar neo-liberalisme atas hak asasi manusia, secara khusus pada hak ekonomi, social, dan budaya. Studi penting telah dihasilkan dalam kerja Sub-commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities (disebut Sub-Komisi), Commission on Human Rights (disebut Komisi), UN High Commissioner for Human Rights (UNHCHR) atau oleh Secretariat of the United Nations (Sekratariat PBB). Studi pionir disiapkan oleh danilo Turk untuk sub-komisi, menunjukkan tidak adanya perhatian yang serius pada hak ekonomi dan sosial.
        Dihadapkan pada tantangan globalisasi modern,reformasi terhadap PBB mutlak dilakukan untuk membuatnya lebih efektif , lebih representative dan lebih bertanggung jawab dalam memenuhi tantangan global yang semakin kompleks. reformasi ini harus mempertimbangkan terjadinya pergeseran dalam kekuatan ekonomi dan keseimbangan kekuasaan di tingkat global.  Seperti yang dicatat oleh Paul Kennedy yaitu ada beberapa prediksi pergerakan kekuatan ekonomi dan militer yaitu : salah satunya adalah ketika PBB merayakan ulang tahun ke seratusnya pada 2045, China bisa menjadi kekuatan ekonomi dan produktif terbesar di dunia , bahkan lebih besar dari Amerika Serikat.  Dengan adanya pergeseran cepat dalam kekuatan ekonomi , yang pada gilirannya akan berimbas pada keseimbangan kekuasaan. Reformasi juga harus mempertimbangkan munculnya berbagai tekanan global untuk menjaga kelangsungan hidupnya. 
        Pilihan untuk memusnahkan PBB tidak realistic karena banyak bangsa yang sudah melakukan investasi dalam PBB. Kemungkinan yang ada adalah melakukan perubahan secara gradual terhadap Piagam dan kelembagaan PBB yang menyangkut peninjauan kembali ketentuan dukungan dua pertiga mayoritas suara serta persoalan hak veto yang dapat menjamin kesetaraan, pengurangan indenpendensi institusi dan penataan kelembagaan lainnya.  Singkat kata, intensifikasi globalisasi modern menuntut setiap bangsa untuk lebih memiliki wawasan internasionalisme dalam rangkat ikut  melaksanakan ketertiban dunia yang menjamin kemerdekaan,perdamaian dan keadilan dalam pergaulan antarbangsa. Sebuah negara menurut Paul kennedy akan tetap bertahan asal para pemimpin dan warganya responsive terhadap globalisasi.
        Negara juga memiliki peran sentral dalam penegakan HAM internasional dimana menurut  hukum hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan dalam International Bill of Human Rights. Pertanggungjawaban untuk mewujudkan hak asasi manusia dalam hukum internasional berada di tangan negara.  Untuk menghidupkan tanggung jawab itu negara harus memikul 3 perangkat kewajiban untuk menghormati,kebebasan individu dan untuk memenuhihak tersebut baik melalui fasilitasi atau melalui penyediaan akses pada kesejahteraan yang mencakup kebutuhan dasar seperti papan,pangan, pendidikan dan kesehatan
        Pada akhirnya perkembangan ada yang bersifat paradoks dimana di satu sisi, globalisasi mengurangi otoritas negara-bangsa,sedangkan di sisi lain, negara yang mampu mengambil keuntungan dari globalisasi justru negara yang kuat. Pengertian kuat disini tidaklah sama dengan otoritarianisme melainkan merujuk pada kepastian negara untuk mempertahankan otoritasnya melalui regulasi dan penegakan hukum. Oleh karena itu harus ada keseimbangan antara komitmen internasionalisme dan nasionalisme,pemberdayaan international governance dan pemberdayaan negara. Peran sila kedua pada hal ini adalah seperti dikatakan oleh Bung Karno yaitu “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam tamansariny ainternasionalisme.”

Membumikan Kemanusiaan dalam Kerangka Pancasila
Prinsip kedua dari pancasila mencerminkan kesadaran bangsa Indonesia sebagai bagian dari kemanusiaan universal. Indonesia menjadi kuali pelebur antar peradaban yang tidak pernah jeda menerima pengaruh global, yang bersifat postif-konstruktif maupun yang negatif-destruktif. Besarnya kontribusi antarperadaban dalam formasi kebangsaan Indonesia. Menjadikan bangsa Indonesia berterimakasih pada kemanusiaan universal (humanity) yang mendorongnya berperan aktif dalam memuliakan nilai-nilai kemanusiaan baik dalam pergaulan antarbangsa maupun dalam pergaulan nasional.

Sejak awal perjuangan kemerdekaan, revolusi Indonesia dipandang sebagai revolusi kemanusiaan. Soekarno mengatakan, “satu banjir yang maha sakti, banjir daripada revolusi Indonesia yang sebenarnya adalah sebagian daripada revolution of mankind.” Bung karno ingin mengingatkan bahwa revolusi yang sejati adalah revolusi kemanusiaan sendiri.

Dalam pidato pembelaannya yang tersohor di depan sidang pengadilan Den Haag, 9 Maret 1928, Bung Hatta juga menampilkan bahasa dan wacana tentang “prinsip kesamaan” kemanusiaan antarbangsa. Bahasa dan wacana ini jugalah yang di lancarkan oleh Soewardi Soerningrat kala menulis Als ik eens Nederlander was atau oleh Bung Karno kala menyampaikan risalahnya yang terkenal, Indonesia Menggugat! Pada tahun 1926, Bung Hatta bahkan telah melontarkan kritik tajam mengenai antargonisme antara Eropa dan Asia yang tidak lain adalah antagonism antara whitemanity melawan humanity. Maka tidak heran kalau spirit humanitarisme dan egalitarianism itu pun muncul bersamaan dengan spirit nasionalisme yang tumbuh dalam alam piker yang tengah bergelora untuk menghantam penjajah. Spirit itu kemudian tercermin pada Pembukaan UUD 1945. Hal pertama yang dinyatakan dalam pembukaan tersebut adalah mengaitkan proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan kemanusiaan universal. Dalam alinea pertama dikatakan, “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Sejak berdirinya republik ini, para pendiri bangsa telah menekankan unsur-unsur penting yang harus dijunjung tinggi oleh sebuah bangsa yang merdeka dan beradab, yakni : kemanusiaan, keadilan, dan penghargaan antar bangsa yang berarti pula penghormatan terhadap internasionalisme. “Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa,” kata Bung Karno pada 1 Juni 1945. Dengan demikian, sejak awal berdirinya, Indonesia dibangun atas kesadaran internasionalism. Tetapi paham internasionalisme itu juga diberi sentuhan dan bobot spirit egalitarianism. Kesadaran akan kesamaan dan kesederajatan antarbangsa yang dilandasi oleh penghargaan atas martabat manusia dan saling hormat antarsesama warga bangsa dan umar manusia. Karena itu dengan tegas hendak diperjuangkan kesadaran bahwa penjajahan harus dihapuskan dan ketidakadilan harus disingkirkan.

Nasionalisme Indonesia dengan demikian memperjuangkan kesamaan kemanusiaan yang akhirnya terpatri secara utuh dam cemerlang dalam (sila kedua) pancasila. hal ini senafas dengan semangat dan prinsip para pendiri bangsa. Pada diri Soekarno, terpancar personifikasi dari ideal-ideal persatuan dan kegotong royongan. Pada sosok Mohammad Hatta, tejelma personifikasi cita cita kedaulatan rakyat dan egalitarianism.
Pada diri Tan Malaka tampak sesosok ideal indoesia yang bebas. Pada diri Sjahrir, terjelma cita-cita Indonesia yang humanis. Pada diri Natsir, terpancar ideal sosok Indonesia yang religious.

            Dalam rangka memenuhi sifat adil, Bung Hatta mengingatkan, “Yang harus disempurnakan dalam Pancasila, ialah kedudukan manusia sebagai hamba Allah, yang satu sama lain harus merasa bersaudara. Oleh karena itu pula sila kemanusiaan yang adil dan beradab langsung terletak di bawah sila pertama. Dasar kemanusiaan itu harus dilaksanakan dlam pergaulan hidup. Dalam segala hubungan manusia satu sama lain harus berlaku rasa persaudaraan.” Persaudaraan itu menembus batas nasional, yaitu persaudaraan manusia antar bangsa. Dan persaudaraan antarbangsa-bangsa dengan prinsip kesederajatan manusia. Menyangkut sifar peradaban, Ki Hajar Dewantoro mengatakan bahwa, “Pancasila menjelaskan serta menegaskan corak warna atau watak rakyat kita sebagai bangsa-bangsa yang beradab, bangsa yang berkebudayaan, bangsa yang menginsyafi keluhuran dan kehalusan hidup manusia.

            Sebagaimana kata Bung Karno bahwa kita tidak menganut paham nasionalisme yang picik, melainkan nasioanalisme yang luas. Internasionalisme bagi Soekarno sama dengan “Humanity”, perikemanusiaan. Pendapat seperti ini sesungguhnya bersinggungan dengan berbagai anasir pemikiran internasional, seperti konsepsi kemanusiaan universal dalam agama-agaman serta gerakan sosialisme abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Soekarno juga terinspirasi oleh Gandhi yang pernah mengatakan bahwa “My nationality is humanity”. Namun, Bung Hatta mengingatkan, “berhubung, dengan power politics, kita harus berhati-hati mengartikan internasionalisme sama dengan “humanity”.  Bung Hatta memandanag sila kedua pancasila memiliki konsekuensi ke dalam dan keluar. Ke dalam, menjadi pedoman Negara untuk memuliakan nilai-nilai kemanusiaan dan hak dasar/asasi manusia, dengan menjalankan fungsi “melindungi segenap bangsa indoneisa dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Keluar. Menjadi pedoman politik luar negeri bebas aktif dalam rangka “ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

            Prinsip persaudaraan universal menurut sila Kemanusiaan, yang memberi keseimbangan antara pemenuhan hak individu dan hak sosial (kolektif), menjadi landasan untuk membangun Negara bangsa yang humanis. Dengan prinsip kesamaan kemanusiaan yang adil dan beradab, komitmen kemanusiaan dan ikatan persaudraan bangsa Indonesia menembus batasan-batasan local, nasional, atau regional, menjangkau persaudaraan antarmanusia dan antarbangsa secara global. Kemanusiaan Indonesia yang dicita-citakan oleh para pendiri Republik ini adalah “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dalam berbagai dimesi dan manifestasinya. Dimensi humanitarianisme dan universalitas hadir begitu kuat mewarnai sila kemanusiaan. Prinsip egalitarianism dan emansipasi tampak kental, meski secara tersirat. Dasar kemanusiaan yang adil dan beradab tidak lain adalah kelanjutan dengan disertai perbuatan dalam praktik hidup dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab itulah dalam urutan sila-sila Pancasila letaknya tidak dapat dipisahkan dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti juga dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, dasar ini sifatnya universal, tidak terikat kepada batas Negara atau corak bangsa. Kalau sila Ketuhanan memberikan tekaanan hubungan yang berdimensi vertikal, yang transcendental, maka sila Kemanusiaan menekankan hubungan horizontal.

            Dengan Demikian, seperti dinyatakan oleh Notonagoro (1974), “Sila kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah diliputi dan dijiawi oleh sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa, meliputi dan menjiwai sila-sila persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Kesimpulan
Sila perikemanusiaan yang adil dan beradab, apabila digali, merupakan visi bangsa Indonesia yang mengandung begitu banyak nilai manusiawi yang bisa dijadikan pegangan dalam mengantisipasi tantangan globalisasi. Di tenagah krisis dan tantangan globalisasi, Indonesia harus mampu mengambil posisi nasional menyangkut hubungan internasional, sikap empati bagi yang menderita, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam memcahkan konflik dalam masyarakat. Suatu “vision” perlu didukung oleh “passion” (kekuatan batin), agar ideal-ideal kemanusiaan bisa diwujudkan di bumi kenyataan.

            Pancasila seharusnya dijadikan sebagai prinsip pemberadaban manusia dan bangsa Indonesia. Masalah-masalah nasioanal yang menentukan jalannya sejarah bangsa Indonesia sepatutnya dipernyatakan dan direfleksikan dalam kerangka pancasila, terutama sila kemanusiaan yang adil dan beradab.

            Di tengah tekanan globalisasi yang semakin luas cakupannya dalam penetrasinya dan instan kecepatannya, sifat masyarakat Indonesia yang cenderung lentur dalam menerima pengaruh global bisa bersifat positif dan negative. Positif, unsur-unsur positif-konstruktif menuruit niali-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, yang menguatkan cita-cita kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial. Negatif, unsur-unsur negatif-destruktif menurut niali-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, yang menimbulkan ketergantungan (neokolonialisme), permusuhan dan ketidakadilan. Dalam intensifikasi aneka pengaruh internasioanal, diperlukan kepemimpinan (masyarakatpolitik dan sipil) yang kuat. Kepemimpinan yang mampu melakukan seleksi dan sintesis kreatif antara global vision dan local wisdom, antara kepentingan nasional dan kemaslahatan global, dengan mengedepankan kerangka penyelesaian berdasarkan prinsip “sama-sama menang” (win-win solution) dan pembangunan berbasis hak (right-based development).









Tidak ada komentar:

Posting Komentar