Pendahuluan
Indonesia dipengaruhi dan memengaruhi realitas global,
dan oleh karena itu, tidak bisa melepaskan diri dari komitmen kemanusiaan
universal. Komitmen perjuangan kemanusiaan secara ideal bersifat universal,
namun pelaksanaannya secara historis-sosiologis bersifat partikular. Komitmen
untuk menjunjung tinggi kemanusiaan universal yang adil dan beradab itu
mengandung implikasi ganda. Seperti yang diunkapkan oleh Soekarno, “kebangsaan
yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme”,
melainkan “kebangsaan yang menuju kepada kekeluargaan bangsa-bangsa”
(internasionalisme). Di sisi lain, nilai-nilai kemanusiaa universal itu
hanyalah bermakna sejauh bisa dibumikan dalam konteks sosio-historis
partikularitas bangsa-bangsa yang heterogen. Bab ini akan menguraikan
kontekstualisasi sila kedua pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dalam
polotik kebangsaan Indonesia.
Perspektif Historis
Sejak zaman es, wilayah Nisantara yang berada
disekitar garis khatulistiwa telah menjadi tempat yang kondusif bagi kehidupan
manusia purba dan menjadi jalur persinggahan terpenting dalam arus imigrasi
homo sapiens dari Afrika Timur.
Kondisi lingkungan
alam-geologis Nusantara yang bersifat vulkanis juga sejak dahulu memengaruhi
kehidupan manusia di seantero dunia. Jelle Zeilinga De Boer dan Donald Theodore
Sanders meneybutkan bahwa ada 4 gunung berapi yang letusannya paling dahsyat
dan paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Tiga dari empat gunung
tersesbut berada di Indonesia (Gunung Toba, Gunung Tambora dan Gunung
Krakatau). Ketiga letusan gunung tersebut dahulu kala telah membuat dampak yang
begitu besar bagi kehidupan manusia.
Setelah zaman es
berakhir dan Nusantara menjadi gugus kepulauan, nenek moyang bangsa Indonesia
merupakan perintis dan penarik arus-arus pelayaran internasional yang membuka
jalan ke arah globalisasi. Posisi strategis geografi Nusantara dengan kekayaan
dan kemolekan alamnya menjadi faktor yang menarik kedatangan berbagai arus
peradaban dunia.
Nusantara sebagai Perintis
Jalan Globalisasi
Nusantara
adalah nama file yang menyimpan memori tentang kejayaan kita sebagai bangsa
bahari di muka bumi. Nusantara pernah mencapai kemegahannya sebagai kesatuan
maritim, sebagai kekuatan laut yang jaya. Di masa keemasan Nusantara sebagai
negeri bahari, lautan menjadi faktor penghubung yang mempertautkan hubungan
komunikasi sosial antarpulau dan kemudian antarbenua.
Mohammad Hatta memiliki
catatan, berkat letak dan keadaan geografisnya, sudah sejak awal milenium
masehi, nenek moyang bangsa Indonesia mempunyai hubungan dengan China, India
Belakang dan India Muka, Parsi, dan Arab. Dia mengingatkan bahwa pada saat
pelaut-pelau Nusantara menjelajahi samudera Hindia dan tepi-tepi Asia dari
lautan Pasifik dengan kapal-kapal mereka, orang China lebih mementingkan
pertanian daripada pelayaran.
Sebagai pemula alam
penjelajahan samudera, dan sebagai kekuatan maritim yang jaya pada saat
kontak-kontak antarbenua berbasis laut, bisa dikatakan bahwa nenek moyang
bangsa Indonesia merupakan perintis dari “globalisasi purba”.
Arus Balik: Globalisasi di
Nusantara
Arus-arus peradaban tidaklah bergerak satu arah.
Perjuangan antarperadaban membawa proses saling belajar. Teknologi pelayaran
Nusantara dipelajari dan dikembangkan oleh komunitas-komunitas peradaban lain.
Sebaliknya, para penjelajah Nusantara mengambil dan mengembangkan nilai-nilai
dan pengetahuan dari peradaban lain.
Melalui proses
persilangan dan perdagangan, terjadilah arus masuk nilai-nilai budaya dan agama
semasa ke Nusantara, terutama dari India, Arab, Persia, China dan Eropa.
Sedemikian ramainya penetrasi global silih berganti sehingga Nusantara sebagai
tempat persilangan jalan tidak pernah sempat berkembang tanpa gangguan dan
pengaruh dari luar.
Pengaruh Indianisasi
(Hindu-Budha) mulai dirasakan pada abad ke-5, bersama kemunculan dua erajaan
yan terkenal, Kerajaan Mulawarman di Kalimantan Timur dan Kerajaan Tarumanegara
di Jawa Barat.
Pengaruh Islamisasi
mulai dirasakan secara kuat pada abad ke-13 dengan kemunculan kerajaan-kerajaan
Islam awal seperti Kerajaan Samudera-Pasai di sekitar Aceh. Kehadiran islam
membawa perubahan penting dalam pandangan dunia dan etos masyarakat Nuaantara,
terutama pada mulanya bagi masyarakat wilayah pesisir. Islam meratakan jalan
bagi modernitas dengan memunculkan masyarakat perkotaan dengan konsepsi
“pribadi’ yang mengarah pada pertanggungjawaban individu, serta konsepsi waktu
yang “linear”, menggantikan konsepsi sejarah yang melingkar.
Pengaruh China dirasakan
setidaknya abad ke-14. Kehadiran anasir China berperan penting dalam
memperkenalkan dan mengembangkan teknik produksi pelbagai komoditi, pemanfaatan
laut untuk perikanan, pembudidayaan tiram dan udang, dan pembuatan garam,
pengadopsian teknik, serta perlengkapan perdagangan, gaya hidup, peran
sosial-budaya klenteng, serta keterlibatan ulama keturunan Chuna dalam proses
Islamisasi.
Pengaruh pembaratan
diperkenalkan oleh kehadiran Portugis pada abad ke-16, disusul Belanda dan
Inggris. Pengaruh pembaratan membawa mentalitas modern yang telah dibuka oleh
pengaruh Islam menuju perkembangan yang lebih luas dan dalam. Pada bidang
sosial-ekonomi, pengaruh barat memunculkan sistem perkebunan, perusahaan dan
perbankan modern. Pada bidang sosial-politik, pengaruhnya dirasakan pada
modernisasi tata-kelola negara dan masyarakat. Pada bidang sosial-budaya,
pengaruhnya tampak pada kehadiran lembaga pendidikan dan penelitian modern,
perkembangantulisan latin, percetakan dan pers, dangaya hidup.
Memasuki paruh abad
ke-19, pergulatan pengaruh peradaban global di Nusantara mengalami proses
intensifikasi. Intensifikasi ini didorong oleh luberan konflik sosial dan
ideologi pada tingkat global, yang difasilitasi oleh sistem komunikasi dan
transportasi modern, serta munculnya respons-respons baru di daerah-daerah
jajahan. Intensifikasi global ini juga membawa efek mimikri bagi masyarakat
Nusantara yang mdnimbulkan perubahan mentalitas dan harapan kemajuan.
Stimulus Pembaratan bagi Kesadaran
Kemajuan
Revolusi
industri (sejak 1700-an) membawa perubahan juga konflik dalam hubungan
eksternal dan internal bangsa-bangsa.Dalam kasus yang terakhir ini, konflik
berantai terjadi antara kelas borjuis dengan kaum aristokrat (kelas penguasa
tradisional).Adapun perlawanan terhadap borjuasi ditandai oleh kemunculan
gerakan-gerakan sosialis dan pemikiran sosialisme sejak 1830-an, disusul oleh
perlawanan kelas pekerja terhadap kekuatan borjuasi.
Di satu sisi,
ada usaha arus balik ke masa praindustrial dengan dengan memimpikan restorasi
tatanan dunia lama. Di sisi lain, ada arus visi ke depan dengan memimpikan
pengadopsian tatanan baru yang sepadan dengan tantangan industrial. Salah
seorang pemikir perintis yang mengarahkan visinya ke depan, dengan melihat
implikasi industrialisasi bagi tatanan kehidupan sosial di masa datang, adalah
pemikir Perancis Claude Saint Simon (1760-1825). Dalam pandangannya, dampak
perkembangan sains dan teknologi bagi masyarakat menuntut penggantian kelas
penguasa tradisional, yang bersifat aristokratis dan berwawasan pedesaan, oleh
elite baru yang mewakili kekuatan ekonomi dan intelektual baru. Dalam
perkembangan lebih lanjut, menyadari bahwa elite baru (kelas borjuis) yang
muncul juga membawa sumber penindasan baru, pemikiran sosialisme bergerak lebih
jauh untuk menuntut egalitarianisme yang lebih tuntas dengan menawarkan
konsepsi perjuangan kelas pekerja.
Liberal di
negeri Belanda yang dipimpin oleh Jan Rudolf Thorbecke merubah haluan
Undang-undang Dasar dari konsevatisme menjadi liberalisme, dan mendapat
dukungan dari kekuatan borjuasi Liberal yang sadar politik. Dengan kredo kaum
Liberal tentang “kebebasan menanam”, “kebebasan mempekerjakan buruh”, dan
“kepemilikan pribadi”, mereka mendesak pemerintahan kolonial untuk melindungi
modal swasta untuk mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan-kesempatan untuk
menjalankan usaha atau perkebunan baru.
Kehadiran
rezim Liberal membawa intensifikasi proses pembaratan. Ambisi-ambisi
perekonomiannya membawa konsekuensi berupa keperluan akan reformasi
institusional, dengan dukungan infrastruktur, dan perbaikan layanan birokrasi,
yang menuntut adanya pelbagai modernisasi. Tuntutan-tuntutan tersebut membuka
jalan bagi introduksi institusi-institusi pendidikan bergaya Barat di
Indonesia.
Menjelang
akhir abad ke-19, era kolonial Liberal tidak berlangsung lama dengan
kesepakatan reorientasi partai-partai politik berbasis agama. Ini terjadi pada
tahun 1888 ketika posisi Kaum Konservatif yang lama digantikan oleh aliansi
dari kaum Anti-Revolusioner dan Kalvinis dengan “Kaum Romanis”, yang
meninggalkan sekutu kaum Liberal mereka dan membentuk sayap kanan, Partai
Kristen baru.
Peralihan
dukungan publik bagi Partai Kristen didorong oleh kemerosotan secara
terus-menerus dalam kehidupan sosial di Hindia Belanda sebagai akibat dari
stagnasi ekonomi, kegagalan panen, penyakit ternak, kelaparan dan
kondisi-kondisi kesehatan yang buruk, yang dipandang sebagai konsekuensi dari
kebijakan ekonomi Liberal. Pada pemilihan umum tahun 1901, Partai Kristen
memenangkan kekuasaan karena posisinya sebagai pembela tanggung jawab moral
sosialistis.Orientasi yang baru memperlakukan Hindia Belanda ini dikenal
sebagai “Politik Etis”.
Dibawah
Politik Etis, educatie (pendidikan), irrigatie (irigasi), dan emigratie (transmigrasi) menjadi
prioritas dari program kesejahteraan (yang berwatak etis). Sistem pendidikan
warisan rezim Liberal direorganisi melalui dua pendekatan yang saling melengkapi.Snouck
Hurgronje dan direktur pendidikan politik etis yang pertama, yaitu J.H
Abendanon, lebih menyukai pendidikan yang bersifat elitis. Di sisi lain,
Gubernur Jenderal J.B Van Heutz (1904-1909) dan A.W.F Idenburg (1909-1916)
mendukung pendidikan yang lebih dasar dan praktis.
Kombinasi dari
pendekatan-pendekatan semacam itu membawa perluasan akses persekolahan dan
meningkatkan taraf pendidikan hingga level universitas.Dari trayek ini,
muncullah kaum inteligensia sebagai strata terdidik yang memiliki status dan
identitas kolektif tersendiri. Penguasaan mereka atas bahasa Eropa, dibarengi
oleh kehadiran bahan pustaka dan industri penerbitan, memberi mereka kemampuan
membuka kunci “republika susastera” semesta, sebagai gudang oengetahuan dan
informasi termaju.
Semua itu
memiliki konsekuensi penguasaan modal cultural baru dan meningkatkan ekspektasi
kaum inteligensia yang mendorong gerakan ke arah kemadjoean.
Bagi gugus
manusia baru, kemadjoean mengekspresikan
suatu kehendak untuk mencapai status sosial yang ideal : kemajuan pendidikan,
modernisasi, kehormatan, dan keberhasilan dalam hidup. Dalam menyuarakan kemadjoean, didirikan media cetak serta
organisasi priyayi baru.Perkembangan ini disusul oleh kehadiran pelbagai
organisasi modern yang berorientasi kemajuan, salah satunya adalah Budi Utomo
yang didirikan pada tahun 1908.Gerakan-gerakan kemadjoean inilah yang membuka jalan bagi kebangkitan nasional.
Stimulus Islam bagi Kesadaran
Kemajuan
Bersamaan
dengan intensifikasi arus pembaratan, pusat-pusat Islam di pelbagai belahan
bumi menghadirkan respon tandingan atas hegemoni Barat di Dunia Muslim yang
dikenal sebagai gerakan “reformasi Islam”.
Reformasi
Islam memiliki asal usul pada pergerakan ulama
dan kaum Sufi abad ke-17 dan 18. Berawal di Arabia dan Kairo dan kemudian
menyebar luas ke bagian-bagian wilayah Muslim yang lain. Mereka berusaha
menghapuskan pemujaan yang dianggap bid’ah
dengan membuang semua kepercayaan dan praktik takhayul atau sihir, serta
menentang kecenderungan para penguasa di negeri-negeri Muslim untuk bekerjasama
dengan kaum kolonial.
Pada paruh
kedua abad ke-19, muncullah gerakan “modernisme Islam” yang mencoba memadukan
unsure-unsur positif Dunia Barat dan Dunia Islam. Singkat kata, “modernisme
Islam” merupakan ideologi dari para elite baru di dunia Muslim yang peduli
dengan perkembangan negara dengan metode-metode, kemajuan saintifik dan
teknologi modern, namun tetap mempertahankan Islam sebagai basis kultural dari
kekuasaan dan masyarakat.
Dengan
pemikiran-pemikiran generasi baru dari gerakan modernisme Islam menciptakan
hibrida yakni “reformasi modernisme Islam” dikarenakan tuntutan agama terhadap
ilmu yang lebih tinggi dibanding generasi terdahulu.
Salah seorang
murid generasi lama, Muhammad ‘Abduh (1849-1905), diangkat menjadi mufti (ahli hokum fiqih yang berwenang
untuk memberi fatwa tentang hukum Islam) dari tahun 1889 sampai dengan tahun
1905. Focus perhatian ‘Abduh sebagai mufti
adalah memodernisasi hukum Island an merevisi kurikulum-kurikulim lama
dengan memasukkan sejarah modern dan geografi. Inti dari kepeduliannya ialah
bagaimana mempertahankan vitalitas Islam sambil mengadopsi cara-cara
Barat.Dengan itu dia menjadi pelopor gerakan hibrida “refomasi modernisme
Islam” di bawah bendera gerakan Salafiyah.
Peralihan abad
19/20, para ulama Nusantara yang terpengaruh gerakan reformasi modernisme Islam
melakukan usaha-usaha modernisasi terhadap lembaga pendidikan Islam tradisional
(surau di Sumatera Barat, meunasah di Aceh, dan pesantren di Jawa).Dari trayek
ini, muncullah “ulama-intelek” yang dengan jaringan madrasahnya mengembangkan
institusi-institusi sosial, dan organisasi-organisasi keagamaan baru.Beberapa
contohnya adalah pembentukan Sarekat Dagang Islam (1908) dalam bidang sosial
ekonomi, dll.Kehadiran institusi-institusi tersebut berperan penting dalam
meluaskan gerakan kemadjoean dan
ruang publik modern dan sel-sel inti pembaratan.
Stimulus China bagi Kesadaran
Kemajuan
Memasuki abad
ke-19, terjadi juga intensifikasi arus China di Nusantara.Berkat kecakapan
keturunan Tionghoa dalam perdagangan, pemerintah kolonial memanfaatkannya
sebagai agen perantara bagi pasar dalam negeri.Untuk mencegah terjadinya
integrasi kekuatan ekonomi keturunan Tionghoa dengan kekuatan pilitik
Boemipoetra, yang bisa membahayakan kekuasaan kolonial sejak zaman VOC.Namun
kebijakan ini tidak selamanya efektif karena banyak orang-orang Tionghoa
memilih menjadi bagian dari kelompok Boemipoetra seperti setelah “Pemberontakan
China” di Batavia pada 1740.
Orang-orang
Tionghoa menjadi katalis dalam pengembangan industri penerbitan dan pers
vernakular (berbahasa local), yang memainkan peran penting sebagai perangsang
dan penyebar gagasan kemadjoean.Dalam
perkembangannya, kemunculan industri pers vernakular berdampak signifikan bagi
perkembangan bahasa-bahasa vernakular.
Selain
berperan penting dalam pengembangan bahasa dan sastra Melayu, keturunan
Tionghoa juga turut berjasa dalam memperluas penggunaan huruf Romawi/Wumi, yang
merupakan kunci penting pembuka kemajuan dunia saat itu.Seiring dengan usaha
pendirian industri pendirian industri media, orang-orang Tionghoa juga
mengadopsi klub-klub sosial dan sistem pendidikan bergaya Eropa, yang membuat
mereka selangkah lebih maju dalam trayej menuju kemajuan.
Dengan
menyebar luasnya pers vernakular, definisi-definisi atas realitas sosial yang
tersedia bagi komunitas inteligensia semakin banyak yang berasal dari
orang-orang asing yang berjarak jauh, dari kelompok-kelompok yang secara
geografis, kultural, dan histories juga jauh, dan yang mungkin bertentangan
dengan apa yang disajikan oleh elite lokal yang mapan dan rezim-rezim kolonial.
Sumber dari
inspirasi kebangkitan itu bukan hanya dari Barat yang menjadi penjelmaan kemadjoean, namun juga dari Timur yang
‘’terbangun dari tidurnya”.Demikianlah, kemajuan keturunan Tionghoa dan
kebangkitan nasionalisme di China serta pelbagai negeri lainnya di Asia memberi
inspirasi bagi gerakan-gerakan kemajuan dan kebangkitan di Tanah Air.
Negosiasi
antarperadaban dalam konstruksi kebangsaan Indonesia
Awal dekade kedua abad ke-20, pergumulan
antararus peradaban itu mengalami gelombang pasang. Gerakan – gerakan sosial
intelegensia menjadi beraneka bentuk. Ekspresi dari beragam gerakan ini dalam
ruang publik dimungkinkan dan juga dibatasi oleh struktur peluang politik yang
ada, oleh pengaruh-pengaruh eksternal, dan juga oleh dinamika internal dalam
komunitas intelegensia.
Struktur peluang politik pada decade
ini mencerminkan karakter khas kepemimpinan gubernur Jenderal Idenburg
(1909-1916) dan penerus nya Van Limburg Stirum (1916-1921), yang tergolong kaum
ethici progresif yang memiliki kepedulian besar terhadap kemajuan dan
pergerakan di tanah jajahan.
Dalam tahun-tahun kepemimpinan
Idenburg, kelompok-kelompok misi Kristen memperoleh angin segar, karena selain
dia seorang ethici progresif , dia juga seorang pendukung partai Kristen yang
gigih, dengan cepat misi Kristen meluaskan aktivitasnya dalam ranah luas.
Infeksifikasi uasaha kristenisasi ini berbenturan dengan intensifikasi dengan
islamisasi.
Selain aktivitas Kristen dan islam, intensitas
sentimen- sentimen keagamaan di ruang public hindia menjadi memanas oleh adanya
kegiatan dakwah dari ordo-ordo spiritual dan sekte-sekte agama yang baru. Pada
dekade kedua dari abad ke duapuluh, perhimpunan-perhimpunan keagamaa baru
seperti ini secara aktif merekrut pada anggotanya, terutama dari segmen
masyarakat kota yang tercabut sdari akarnya.
Faktor lain yang menyebabkan makin
memanaskan ruang public dalam dekade tersebut adalah meningkatnya kepercayaan
diri orang-orang keturunan tionghoa. Melambungnya kepercayaan diri ini mengubah
sikap mental mereka dalam relasinya dengan penguasa dan komunitas lain tanah
air (shiraishi, 1990:35-38)
Pada dekade ini, orang-orang pernakan
campuran Eropa-Indonesia (indo) juga meramaikan public dengan mendirikan partai
politik hindia pertama berbasis multiculturalisme, indische partij (IP).
Dipimpi oleh seorang jurnalis indo, E.F.E Douwes Dekker, plus dua orang
intelektuak pribumi, Tjipto mangunkusumo dan Suwardi Surjaningrat , partai ini
berusaha mengupayakan suatu aliansi antara orang-orang indo dan orang-orang
hindia pribumi yang terdidik, untuk memperjuangkan kesedejahteraan hak dengan
para penduduk keturunan Eropa. Dalam usaha ini, mereka mulai mempromosikan
“nasionalisme Hindia” yang menidealkan suatu identitas bersama berdasarkan
kriteria kewargaan (kependudukan) Hindia ketimbang atas dasar kriteria etnik
atau agama (Mcvey, 1965: 18 ; Van Niel, 1970: 63)
Last but not least, dekade ini juga
ditandai oleh keterlibatan langsung organisasi-organisasi politik Belanda dalam
urusan-urusan politik Hindia. Dalam dekade inilah benih-benih marxisme dan
komunisme revolusioner mulai secara sistematis disemaikan di bumi Hindia. Para
propagandis marxisme/komunisme menggenapi ketegangan ruang public dengan
membentuk himpunan-himpunan kiri. Dimulai dengan kampanye sosialisme melalui
aktivitas-aktivitas jurnalistik dan serikat buruh pekerja kereta api (VSTP),
sneevliet melangkah lebih jauh dengan mengorganisasi sebuah pertemuan
orang-orang sosial democrat di Surabaya pada 9 mei 1914, yang menghasilkan
pembentukan indische sociaal- democratische Vereeniging (ISDV) dalam
perkembangan lebih lanjut ISDV mengembangkan kecenderungan-kecenderuangan
revolusioner, terutama setelah mendapatkan stimulus baru dan keberhasilan
revolusi komunis (Bolsheviks) di Rusia pada 1917, yang menyebabkan
elemen-elemen sosialis yang lebih moderat di bawah pimpinan Ch.C. Cramer
memisahkan diri dan membentuk Partai sosial demokrat Hindia sebagai cabang dari
SDAP di negeri Belanda (Furnivall, 1944: 248).
Meskipun anggota ISDV dan ISDP, paling
tidak untuk beberapa tahun kebanyakan terdiri dari orang-orang belanda,
ideologi marxisme/komunisme mempengaruhi wacana public dan mendorong lahirnya
sebuah kelompok intelegensia politik/komunis pribumi yaitu “Sama Rata Hindia
Bergerak” yang didirikan di Surabaya pada 1917 dibawah inisiatif Adolf
Baars. Perhimpunan ini hnaya bertahan satu tahun, tetapi usaha yang lebih
serius untuk membentuk kader-kader sosialis radikal di kalangan pribumi
dikerjakan oleh ISDV.
Melalui strategi “blok dalam” (block
within), yaitu strategi penyemaian kader komunis dalam organisasi tertentu,
terutama dalam tubuh Serikat Islam yang luas pengaruhnya, komunisme secara
cepat memperoleh banyak pengikut. Kerjasama antara kader-kader komunis di dalam
dan di luar SI membentuk perserikatan komunis di India pada 1920 dan setelah
kader-kadernya di dalam SI dikeluarkan pada 1921, perserikatan ini
bermetamorfosis menjadi PKI pada 1924.
Pendirian himpunan-himpunan kiri di
Hindia menggoda kelompok-kelompok politik lain di Belanda untuk mengembangkan
sayapnya di tanah jajahan. ISDV disaingi dengan berdirinya Nederlandsch
Indische Vrijzinnige Bond (NIVB, perhimpunan liberal) pada akhir tahun 1916.
Himpunan ini memiliki hubungan dengan kaum liberal moderat di Negari Belanda
dan didirikan dengan tujuan untuk menyatukan kelangan progresif . lalu munculah
partai-partai seperti Partai Etis Kristen (CEP) dan Partai Katolik Hindia (IKP)
masing-masing pada tahun 1917 dan 1918. CEP dan IKP mempromosikan otonomi yang lebih
luas bagi Hindia, namun dengan memiliki “asosiai” yang kuat dengan negeri
Belanda serta untuk menjadikan Kristen sebagai basis ideology Negara. Semua
organisasi ini merekrut keanggotaan campuran yang terdiri dari kaum blijvers,
kaum trekkers, orang-orang timus asing, dan para elit hindia.
Dibawah bayang-bayang kesadaran sosial
dan kepentingan yang yang saling bersaing, beragam gerakan sosial tumbuh dengan
mengekspresikan keanekaragaman ideologis.kesadaran kemajuan dan pembebasan kaum
terjajah muncul disepanjang garis perbedaan identitas kolektif .situasi ini
mendorong kebangkitan protonasionalisme berbasis kesamaan identitas etnis,
agama dan kelas.
Perbenturan antaridentitas kolektif
terjadi antara lain karena unsur-unsur “tradisi kecil” dalam lokalitas tertentu
mempertautkan diri dengan “tradisi besar” berskala global. Pada setiap “tradisi
besar” ada elemen kosmopolitanisme dengan klaim totalitas universal yang
besifat eksklusif dan berpotensi menimbulkan benturan antarperadaban.
Beruntunglah, betapapun terjadi persaingan, kesemuanya dipersatukan oleh
komitmen pada pembebasan kemanusiaan, untuk menghadirkan keadilan dan keadaban
bagi kaum terjajah. Dalam kenyataan lokal, selalu terbuka kemungkinan proses
penyerbukan silang budaya antarperadaban, sehingga setiap peradaban, tidak
menampakan diri sebagai total paket yang monolitik, melainkan suatu mozaik yang
mengandung keragaman yang member peliang bagi proses negosiasi, percampuran,
dan kerjasama lintas-peradaban.
Demikianlah, ideologi pan-islamisme
Al-Afghani dan reformisme-modernisme islam ala ‘Abduh pada mulanya memang
menjadi sumber inspirasi bagi perumusan ideologi islam di tanah air sebagai
respon terhadap kolonialisme dan kehadiran komunisme. Pengaruh kehadiran
inelektual kiri dan relevansi doktrin-doktrin sosialis bagi rakyat terjajah
juga menstimulus para intelektual islam untuk memodifikasi ideologi dengan
mengkombinasikan nya dengan Al-quran, kombinasi ini dikenal sebagai “sosialisme
Islam” terlebih setelah kekhalifahan (ottoman) di Turki sebagai jantung
Pan-Islamisme dihapukan oleh Mustafa Kemal pada bulan februari 1924.
Disisi lain kosmopolitanisme komunitsa
internasional juga terbukti memerlukan adaptasi terhadap realitas lokal. Tan
malaka, dalam kapasitas sebagai seorang pemimpin komunis sejak akhir 1921,
berusaha meredakan ketegangan antara para pemimpin komunis dan islam sebelum
ditangkap pada bulan maret 1922.
Begitu juga dengan ketertarikan
komunitas tionghoa pada kosmopolitanisme tiongkok, terjadi penyesuaian yang di
timbulkan baik oleh realitas di “hulu” maupun di “hilir”. Di China sendiri,
doktrin kosmopolitanisme mendapatkan tandingan dari konsepsi nasionalisme yang
dikembangkan Sut Yat Sen, sedangkan di tanah air, komunitas tionghoa nyatanya
tidaklah monolitik. Bahkan dalam perkembangannya, kemudian muncul pula partai
politi Tionghoa Indonesia, yang bercorak nasionalis.
Munculnya gerakana nasional yang
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia membawa pengaruh besar kepada kalangan
keturunan Tionghoa di Indonesia untuk terserap ke dalam orbit semangat
kebangsaan Indonesia.
Demikian pula halnya dengan komunitas
Kriten-Katolik, secara perlahan mereka melepaskan keterikatannya dengan
kekritenan Eropa, seperti melalui pengembangan gereja-gereja suku. Proses
negosiasi dan persilangan budaya antar peradaban itu mengarah pada penguatan
komitmen bersama pada situasi kesengsaraan ekonomi dan penindasan politik yang
makin mencengkram, memburuknya perekonomian Hindia pasca-perang dunia I dan
depresi ekonomi dunia yang hebat pada 1930-an menyediakan lahan yang subur bagi
merajalelanya radikalisme. Ditengah meluasnya semangat perlawanan politik,
pe,erintah colonial berusaha mengekang potensi ketidakpatuhan ini dengan
mengencangkan rezim rust en orde (ketentaman dan ketertiban) yang bersifat
represif.
Situasi penderitaan bersama ini
memunculkan semangat emansipasi yang digali dari pelbagai unsur peradaban dan
pengalaman. Semangat emansipasi ini mendorong gerakan anti-kolonialisme yang
mengarah pada usaha penciptaan komuitas impian bersama “imagined political community”
yang melampaui eksklusivitas identitas-identitas komunialisme.
Peluang kearah penciptaan kearah
komunis politik bersama itu itu dibuka oleh penggunaan keode “Indonesia”
sebagai kode kebangsaan baru, yang di populerkan oelh para aktivis mahasisa Indonesia
si Belanda, hal ini di tandai dengan berubah nya nama indische Vereeniging
menjadi Indonesische Vereeniging pada tahun 1922, dan diubah kagi menjadi
“perhimounan Indonesia” pada tahun 1924.
Salah seorang tokoh yang paling
menonjol dari PI adalah Mohammad hatta. Dalam sebelas tahun masa studinya di
Belanda (1921-1931), dia mempelajari aneka pemikiran, ideologi, dan pergerakan
dunia semasa, terlibat dalam wacana publik, mengurus organisasi, berceramah di
berbagai perkumpulan di Eropa, dan ikut serta dalam gerakan internasional
menentang kolonialisme. Mengikuti secara seksama perkembangan gerakan-gerakan
nasionalis di tanah air, dia dan anggota dan anggota PI lainnya kecewa karena
gerakan-gerakan itu bukan hanya gagal membentuk sebuah organisasi berbasis
massa yang kuat untuk melawan Belanda, mrlainkan juga terperangkap dalam spiral
rivalitas di antara mereka sendiri.
Para intelektual PI percaya bahwa
kecenderungan PKI untuk menggunakan kekerasan dan kerusuhan massa secara
premature hanya akan mengakibatkan hilangnya nyawa rakyat Indonseia secara
sia-sia, dengan menolak ideologi Islam, komunisme, dan nasionalisme
kesukuan(etna-nasionalisme) sebagai basis bagi kebangsaan dan kemerdekaan
Indonesia, PI mengajukan konsepsi ideologi dengan berusaha mencari sintesis
antarperadaban.
Persatuan nasional berarti keharusan
untuk melakukan pengikatan bersama dari ragam ideologi dan identitas
(etnis,agama,dan kelas) ke dalam front perjuangan bersama untuk melawan
kolonial,persatuan nasional merupakan tema utama dari indsiche partij,
non-kooperasi merupakan platform politik kaum komunis, dan kemandirian
merupakan tema dari Serekat Islam.
Tidak lama berselang, para pemimpin
perhimpunan mahasiswa nusantara di kairo, djama’ah Al Chairiah (berdiri 1922),
seperti Iljas Ja’kub dan Muchtar Litfi, pasca kegagalan kongres islam sedunia
di Kairo dan Mekkah, tidak melihat lagi relevansi dari proyek Pan Islamisme,
kedua orang tersebut memimpin partai persatuan muslimin Indonesia (PMI) pada
tahun 1932, dengan slogan “Islam dan Kebangsaan”, yang memrpersatukan diri
dengan gerakan nasionalisme modern (Ricklefs, 1993: 190)
Seperti halnya para aktivis mahsiswa di
negeri yang terobsesi dengan ide blok nasional. Soekarno dan para mahasiswa
aktivis lainnya di Hindia juga menganut idela ang sama. Algemene studieclub
(ASC) berdiri di Bandung pada tahun 1926. Pada tahun 1926 Soekarno menulis esai
dalam majalah milik ASC, Indonesia moeda, dengan judul “Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxisme” yang mengidealkan sintesis dari ideologi-ideologi
besar tersebut demi terciptanya senyawa peradaban dalam kerangka konstruksi
kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia. Dalam pandangan Soekarno, pergerakan
rakyat Indonesia mempunyai tiga sifat : “nasionalisme, islamistis, dan
marxistis”, lebih kanjut dia katakana, adalah mungkin bagi kaum nasionalis
untuk bekerja sama dengan kaum islamis dan marxis.
Selain itu, dikatakan bahwa kaum marxis
pun bias memiliki komitmen pada persatuan nasional. Dalam konteks perjuangan
nasional, “kita kini melihat persahabatan kaum marxis dengan kaum nasionalisndi
negeri tiongkok; dan kita melihat persahabatan kaum marxis dengan kaum islamis
di negeri Afganistan”. Dalam pandangannya, teori marxisme itu bias berubah dan
bahwa marx dan engels itu bukanlah nabi-nabi yang bisa mengadakan aturan-aturan
yang bisa terpakai untuk segala zaman.
Di sisi lain, karena ada stimulus
pemikiran dan pergerakan internasional dalam formasi kebangsaan Indonesia,
nasionalisme Indonesia membalas kontribusi internasional ini dengan
mengembangkan nasionalisme yang lapang, yang mempertautkan diri dengan
kemanusiaan universal dalam pergaulan antarbangsa (internasionalisme),
solidaritas internasional ini pada awal pertumbuhan nya terutama dipertautkan
dengan bangsa-bangsa terjajah lainnya, terutama di Asia sebagai kawasan
terdekat, dengan mengembangkan perasaan senasib-sepenanggungan dalam kerangka
“Revolusi Asia” atau “Pan-Asiatisme”. Hatta menyebut kemenangan Jepang atas
Rusia pada tahun 1905 dalam merebut kembali semenanjung Liaotung sebagai
pangkal kebangkitan Asia. Lebih lanjut dikatakan, selain kemenangan Jepang atas
Rusia (1905), keberhasilan Revolusi Rusia (1917) member contoh baru bagi
pergerakan kebangsaan di India tentang bagaimana melawan pemerintah, yang
menguatkan sayap kiri pergerakan rakyat. Sementara itu, politik
devide-et-impera-nya-lord Curzon juga dipatahkan oleh kebesaran Mahatma Gandhi
yang dapat menyatukan umat Hindu dan Muslim yang dalam kerapatan besar di
Amristar (Desember 1919), akhirnya Hatta menyatakan bahwa revolusi Asia serta
Pan-Asiatisme memberitahukan, “bahwa matahari telah tinggi serta memaksa
penduduk Indonesia turut serta memaksa penduduk Indonesia turut berkejar-kejara
dengan bangsa lain menuju padang kemajuan dan kemerdekaan. Selain dengan itu,
soekarno dalam tulisannya di suluh Indonesia muda (1928), “ Inodesia dan
Pan-Asiatisme”, menyatakan bahwa, “paham Pan-Asiatisme ini pasti dapat hidup
dan bangkit di dalam pergerakan kita. Sebab persatuan nasib antara
bangsa-bangsa Asia pastilah melahirkan persatuan perangai, persatuan nasib
pastilah melahirkan persatuan rasa.
Dengan kesadaran akan persatuan rasa
kemanusian antar bangsa menjadi jelas bahwa sosok nasionalisme yang hendak
dikembangkan bangsa Indonesia adalah nasionalisme luas, yang berdimensi
international.
Hubungan sibiosis antara
internasionalisme dan nasionalisme ini memperoleh dimensi baru selama
pendudukan jepang, pada masa perang dunia(1942-1945). Penduduk jepang sejak
januari 1942 merupakan momen penempaan bagi penguatan nasionalisme Indonesia.
Kemenangan mudah jepang atas belanda menciptakan kesan yang luar biasa bagi
orang-orang Indonesia.
Jepang sendiri datang ke Indonesia
dengan mencitrakan diri sebagai “Saudara Tua Asia” dan pada awalnya, jepang
membangkitkan perasaan umum bahwa mereka dating sebagai pembebas. Karena
itulah, kedatangan mereka oleh banyak kalangan disambut secara antusias.
Dalam perkembangannya,peralihan
kekuasan dari penjajah lama ke penjajah baru memang tidak ubahnya bak sebuah
peribahasa : “Lepas dari mulut buaya , masuk mulut harimau”. Meski demikian,
kepentingan perang jepang secara tidak terduga menghadirkan sebuah katalis bagi
konsolidasi nasionalisme Indonesia.
Penduduk Jepang , dengan fokusnya pada
usaha-usaha kemiliteran, menunjukan perhatian yang setengah hati pada
persekolahan konvensional, namun dengan penuh semangat memperkenalkan jenis
pendidikan baru yang di butuhkan bagi upaya perang Jepang, yaitu pendidikan
militer dan para militer.
Dengan “janji“ memberikan hak
pemerintahan sendiri kepada bangsa Indonesia dikemudian hari, Jepang mensponsori
pendirian sebuah payung organisasi nasionalis yang inklusif pada 9 Maret 1943,
bernama Pusat Tenaga Kerja (PUTERA). Gerakan ini menyatukan seluruh perhmpunan
politik maupun nonpolitik terdahulu di Jawa dan Madura, dan di pimpin oleh
4serangkai. Soekarno sebagai ketua, Hatta sebagai wakil ketua, dengan Suwardi
Surdjaningrat (Ki Hajat Dewantara) dan seorang pemimpin reformismodernis muslim
terkemuka, Mas Mansur, sebagai anggota.
Dibawah naungan PUTERA, pihak Jepang
membentuk sejumlah organisasi militer dengan system hierarki komando menurut
garis kewibawaan tradisional, pernghormatan kepada orangtua di pandang dapat
membuahkan kesetian, disiplin, dan kesediaan berkorban. Salah satu yang penting
ialah Sukarela Tentara Pembela Tanah Air (PETA), yang didirikan pada bulan
September 1943. Bagi Jepang, organisasi-organisasi ini merupakan sarana untuk
merebut dukungan rakyat Indonesia terhadap usaha-usaha perang Jepang. Namun,
bagi para pemimpin nasionalis, hal itu dijadikan kendaraan untuk
memperluas kontak mereka dengan massa yang pada masa pemerintahan kolonial
Belanda sangat dibatasi (kahin, 1952:108)
Melalui struktur barisan-barisan
militer seperti barisan pelopor (sejak September 1944) sebagai lascar (Garda
Pembela) dari Djawa hokokai, dan hisbullah (sejak desember 1944) sebagai laskar
dari masyumi, hubungan diantara kaum terpelajar dipusat-pusat kota dengan kaum
tidak terpelajar dipinggiran kota, kota kecil, dan pedesaan terbentuk.
pendidikan yang kaku dan batas-batas antar elite dan nonelite yang terbangun
sejak lama akibat kebijakan-kebijakan kolonial mulai luluh.
Namun, yang menjadi sebab utamanya
ialah berlangsungnya komunikasi antara pemuda terpelajar dan nonterpelajar yang
sama-sama menjadi anggota laskar tertentu, yang memungkinkan ideologis nasionalis
mencapai makna konkretnya.
Jejak-jejak terakhir warisan Jepang
dalam konstruksi kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia adalah perannya dalam
mensponsori pembentukan BPUPK dan PPKI. Dalam desain Jepang, kemerdekaan
Indonesia itu merupakan suatu mata rantai dalam lingkungan kemakmuran bersama
di Asia Timur Raya, meski dalam perkembangannya, kenyataan historis kekalahan
Jepang dari Sekutu dalam Perang Pasifik memberi peluang bagi bangsa Indonesia
untuk mengembangkan pilihan dan orientasi internasional nya tersendiri.
Kemanusiaan (internasionalisme) dalam perumusan pancasila dan
konstitusi
Kemanusiaan yang adil dan
beradab memiliki akar yang kuat dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Sila ini
mengandung berbagai unsur pendapat dari para founding fathers bangsa Indonesia. Berikut ini adalah sekilah
sejarah dari terciptanya berbagai upaya penegakkan kemanusiaan dan HAM.
Diawali dari pandangan
Radjiman Wediodiningrat yang mengutamakan nilai kegotong royongan di Indonesia
ketika melawan jepang. Semangat kegotong royongan yang dilontarkan Radjiman ini
mendapat peneguhan di persidangan BPUPK, Muhammad Yamin diawal persidangan
telah menyebutkan, tujuan kemerdekaan dengan salah satu dasarnya adalah
“kemanusiaan” (internasionalisme). Prinsip ini memperoleh formulasi yang lebih
jelas dalam pidato Soekarno ketika menguraikan Pancasila pada siding BPUPK, 1
Juni 1945.
Dalam prinsip kebangsaan
yang Seekarno tekankan sebagai prinsip pertama, Soekarno juga mengingatkan
bahaya dari prinsip kebangsaan itu. Salah satunya adalah Chauvinisme, yaitu
mengagungkan bangsa sendiri, dan merendahkan bangsa lain. Seperti yang terjadi
pada Eropa, dengan Deutschland uber
allesnya, dan lain-lain. Soekarno menekankan bahwa prinsip kebangsaan
Indonesia harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia, dan kekeluargaan
bangsa-bangsa. Oleh karena itu Soekarno mengutip pernyataan Mahatma Gandhi, “my nationalism is humanity”. Inilah
prinsip kedua yang ia namakan internasionalisme atau peri kemanusiaan.
Selanjutnya Soekarno menekankan, yang ia maksud internasionalisme bukanlah
kosmopolitanisme, yang tidak mau adanya kebangsaan. Menurutnya,
Internasionalisme dan nasionalisme saling berkaitan. Kedua-duanya saling
membutuhkan.
Dalam rancangan pebukaan
UUD, peletakan prinsip internasionalisme itu terletak sebagai sila kedua dari
Pancasila. Kemudian kata kemanusiaan
ditambahkan dengan sifat adil dan beradab, menjadi kemanusiaan yang adil dan
beradab. Orientasinya sendiri bersifat ganda, kedalam dengan memuliakan hak
asasi manusia sebagai individu maupun kelompok, dan keluar dengan ikut
memperjuangkan kedamaian dan keadilan dunia.
Pada pembukaan UUD 1945,
komitmen kemanusiaan terkandung di semua alinea, terutama alinea pertama dan
keempat. Dalam pembukaan ini terlihat jelas bahwa pendiri bangsa tidak sekedar
menginginkan berdirinya suatu bangsa, namun memiliki argumen yang kuat dalam
persoalan hidup dan beroperasinya Negara. Argumen yang pertama menegaskan bahwa
kolonialisme adalah penindasan atas manusia dan atas bangsa. Argumen yang kedua
adalah self determination yang
nantinya menjadi fondasi dasar dari HAM.
Selanjutnya mengenai isu
HAM, terjadi masalah dalam hubungannya dengan konsep Negara kekeluargaan. Namun
sebenarnya dai awal telah disebutkan bahwa konsep Negara kekeluargaan ini tidak
bercorak tunggal, melainkan perpaduan dari banyak unsur. Kemudian kebijakan ini
menimbulkan banyak pro dan kontra.
Pada rapat Besar 11 Juli
1945, Moh. Yamin mengatakan bahwa tiap konstitusi dari bangsa merdeka terbentuk
atas tiga bagian, yaitu Declaration of
Rights, Declaration of Independence,
dan konstitusi. Atas pendapat ini, Soepomo menyatakan ketidak setujuannya,
karena Declaration of Rights sendiri
berdasar pada individualisme. Atas perbedaan pendapat ini, Soekarno mengajukan
alternatif, yaitu membuat Declaration of
Rights dalam suasana kekeluargaan. Tentang ide ini, Soepomo setuju terhadap
Declaration of Rights. Agus Salim
mempunyai pendapat lain. Baginya tidak penting paham apa yang dianut, yang
terpenting adalah dalam hukum dasar harus terdapat pagar-pagar penjaga keadilan
supaya keadilan itu sendiri tetap berlaku.
Pada Rapat Besar 15 Juli
1945, Soekarno menegaskan bahwa dengan diterimanya rancangan pembukaan UUD,
anggota telah mufakat bahwa dasar, falsafah, dan sistem yang dipakai dalam
penyusunan rancangan UUD adalah dasar kekeluargaan (gotong royong). Maka
Soekarno menegaskan, bangsa Indonesia harus mengenyahkan pikiran dan paham
individualisme dan liberalisme. Soepomo memperjelas lagi, sebenarnya bukannya
dalam Negara yang bersifat kekeluargaan tidak ada jaminan bagi hak dasar
individu, tetapi menghendaki agar warga lebih mengedepankan pemenuhan kewajiban
daripada sekedar menuntut hak.
Setelah itu, Moh. Hatta
menghendaki agar ada jaminan yang lebih tegas atas hak berserikat, berkumpul,
dan berpendapat dalam konstitusi, demi mencegah terjadinya penyelewengan
kekuasaan dengan dalih semangat kekeluargaan. Harus dihindari kemungkinan
Negara kekeluargaan berubah menjadi Negara kekuasaan. Oleh karena itu
menurutnya perlu dimasukkan beberapa pasal mengenai hak warga Negara. Usul
Hatta ini mendapat dukungan dari Soekiman dan M. Yamin. Soekiman memandang
bahwa perlu mempererat perhubungan pembentukan Negara dengan jiwa rakyat.
Sedangkan M. Yamin mengusulkan agar aturan kemerdekaan warga Negara dimasukkan
kedalam Undang-Undang Dasar.
Dari berbagai argument
tersebut, akhirnya pada tanggal 15 Juli juga Soepomo bersedia menempuh pilihan
komromistis, namun tetap tidak akan menentang sistematik dari rancangan
anggaran dasar. Bentuk komprominya adalah dalam UUD dapat ditambahkan pasal
yang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk bersidang dan berkumpul untuk
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan lain lain yang diatur oleh
Undang-Undang. Setelah itu terjadi beberapa perubahan terhadap pasal-pasal pada
UUD.
Meskipun pasal-pasal tentang hak dasar sendiri
terbatas jumlahnya, adanya pasal-pasal
itu sendiri sudah meliputi apa yang kemudian disebut tiga generasi hak manusia,
yaitu:
1. Generasi pertama: hak sipil dan hak politik. Generasi ini terkait
dengan hak sipil, yang terkait langsung dengan orientasi etis kemanusiaan dan
juga konteks habeas corpus yang
menjadi salah satu pilar hukum internasional. Hak ini menyangkut hak hidup, hak
kebebasan beragama, hak untuk diproses secara hukum dengan seadil-adilnya, hak
mengemukakan pendapat, dan hak untuk turut serta dalam pengambilan keputusan
bersama.
2. Generasi kedua: hak demokratis. Generasi kedua HAM terkait dengan
proses sebuah Negara membuahkan kebijakan dalam kondisi yang memungkinkan suatu
kehidupan semakin manusiawi. Hak yang termasuk adalah hak atas layanan
kesehatan, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, dan hak atas jaminan
sosial.
3. Generasi ketiga: hak ekonomi social-kultural-kolektif. Generasi ketiga ini
bagian dai pengakuan akan perlindungan keseluruhan kehidupan manusia, baik
sekarang maupun yang akan dating, baik satu komunitas maupun antar komunitas.
Yang termasuk didalamnya adalah hak hak atas perlindungan lingkungan, hak
masyarakat adat, hak ekonomi dan pembangunan, hak penentuan nasib sendiri, dan
sebagainya.
Alhasil, walau dalam
rumusan yang supel, secara substantive cakupan dan komitmen HAM dalam UUD 1945
telah merefleksikan tuntutan perlindungan HAM, dan mampu mengatasi apa yang
kemudian akan tertuang dalam hak-hak asasi dari PBB. Bisa dipahami jika Moh.
Hatta mengatakan bahwa UUD 1945 adalah UUD paling modern pada zamannya.
Jelas kemudian bahwa
Negara Indonesia adalah Negara kekeluargaan yang menghormati hak-hak asasi
warga Negara dan manusia pada umumnya, sebagai individu maupun kelompok. Penghormatan
Negara kekuasaan Indonesia ini semakin jelas sosoknya pada konstitusi RIS dan
UUDS 1950. Dari aspek kedalam, komitmen untuk memuliakan HAM mendapat kerangka
pengaturan yang lebih jelas dan komprehensif. Dari aspek keluar, komitmen
Indonesia pada perdamaian dan keadilan dunia memperoleh landasan yang lebih
kuat. Untuk selanjutnya, komitmen pada kemanusiaan dan HAM berlanjut pada
siding konstituante.
Sementara itu, muncul
pula kritikan terhadap UUD tentang HAM yang hanya menyebut hak, tidak menyebut
kewajiban. Hal ini didukung partai nasionalis yang menyesalkan tidak adanya kewajiban warga
Negara. Atas kritikan itu, kemudian pada 9 Desember 1958, panitia persiapan
konstitusi berhasil melengkapi keputusan mengenai rancangan pasal UUD mengenai
HAM, hak dan kewajiban warga Negara, yang berisi ketentuan mengenai 35 hak dan
kewajiban. Panitia Persiapan Konstitusi juga telah berhasil mencapai keputusan
mengenai 22 pasal tentang HAM dalam rancangan UUD baru. Meskipun demikian,
sejarah berbicara lain, dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengembalikan ketentuan HAM
seperti yang terkandung dalam UUD 1945. Tetapi, perlu diingat bahwa dengan
kembalinya ke UUD 1945 pun, secara substantive tidak mengurangi komitmen bangsa
Indonesia pada persoalan kemanusian universal dan penghormatan HAM.
Setelah melihat
perkembangan perjalanan bangsa ini, jelas sila Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab tidak sembarangan dicetuskan. Sila ini memiliki akar yang kuat dalam
historisitas kebangsaan Indonesia. Kemerdekaan Indonesia menghadirkan suatu
bangsa yang memiliki wawasan global dengan kearifan local, memiliki komitmen
pada ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, keadilan, serta pada
pemuliaan HAM dalam suasana kekeluargaan kebangsaan Indonesia.
Perspektif Teoretis-Komparatif
Pentingnya
merawat persaudaraan antarbangsa terbuti dari andil bangsa-bangsa lain dalam
mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia secara de facto dan de jure.
Dukungan internasional atas kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pertama kali
muncul dari Dunia Arab. Mesir adalah negara yang pertama kali mengakui
kemerdekaan Indonesia, disusul oleh negara-negara Liga Arab.
Seiring dengan
itu, sejak Kabinet Sjahrir, mulai dirintis usaha membuka perwakilan Indonesia
di luar negeri. Pada masa ini pula masalah Indonesia mulai dibahas di PBB pada
Januari 1946 atas usul utusan Republik Sosialis Ukrania. Dukungan Internasional
atas kemerdekaan Indonesia semakin terasa setelah agresi militer Belanda I.
Dunia internasional menolak aksi Belanda ini. India dan Australia, pada 30 Juli
1947, langsung membawa masalah Indonesia ke dalam sidang Dewan Keamanan di Lake
Success, Amerika Serikat. Perdana Menteri Amir Sjarifuddin mengirim surat pula
pada tanggal 31 Juli 1947 agar masalah Indonesia dapat diselesaikan segera
dalam sidang Dewan Keamanan tersebut.
Walau pelbagai
pihak telah berupaya untuk menyelesaikan persengketaan Indonesia-Belanda, van
Kleffens tetap menganggap bahwa Dewan Keamanan tidak berhak mencampuri
pertikaian Indonesia-Belanda. Di satu pihak, Belanda mengakui Indonesia secara de facto melalui Perjanjian Linggarjati,
di lain pihak, dia tidak dapat menyatakan lagi bahwa masalah Indonesia
merupakan masalah dalam negeri Belanda.
India, sebagai
negara yang mengajukan tuntutan mengenai pembahasan masalah Indonesia, diundang
secara resmi dalam sidang itu. Belanda pun akhirnya diundang pula secara resmi
guna didengar keterangannya mengenai kebijakan yang dijalankan. Usulan untuk
mengundang Indonesia belum disetujui, namun perkembangan sidang menunjukkan
bahwa angin kemenangan tengah berhembus ke Indonesia. Australia mengusulkan
resolusi penghentian tembak-menembak serta pembentukan sebuah badan arbitrase
sehingga tercapai kesepakatan diantara kedua pihak dalam menciptakan perdamaian
dan keamanan.
Berkaitan
dengan hal itu, Rusia, melalui Andrei A. Gromyko, berusaha melakukan amandemen
terhadap resolusi Australia dan menyatakan bahwa penghentian tembak-menembak
saja belum cukup. Kedua pihak harus menarik pasukannya ke batas demarkasi yang
telah disepakati sebelumnya yang disebut “Garis van Mook”. Belanda tidak akan
memperoleh manfaat dari Agresi Militernya terhadap Indonesia. Tentu saja usulan
ini ditolak oleh sekutu Belanda.
Setelah
tercapainya kesepakatan mengenai resolusi Dewan Keamanan, perhatian sidang lalu
terfokus pada dua hal: 1) Kehadiran Indonesia dalam Sidang Dewan Keamanan, 2)
Badan Arbitrase yang akan dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata
di antara kedua belah pihak.
Australia dan
Uni Soviet menganggap perlu untuk mengundang Indonesia dalam sidang Dewan
Keamanan- walaupun belum menjadi anggota PBB karena telah memenuhi persyaratan
menunjuk Piagam PBB pasal 2. Dengan mendengarkan penjelasan dari kedua belah
pihak, akan diperoleh pandangan yang lebih objektif mengenai keadaan yang
sedang terjadi di Indonesia.
Ketua delegasi
Indonesia, Sutan Sjahrir, tampil ke depan podium guna menjelaskan perkembangan
yang terjadi di Indonesia. Dalam pidatonya, Sjahrir menguraikan selama abad ke
14-15, Kerajaan Majapahit telah mampu memperluas ruang lingkup wilayah
Indonesia, juga telah menjangkau ke arah Pulau Madagaskar (Afrika Timur). Di
samping itu, hubungan dagang dengan Belanda telah dilakukan semenjak abad ke-15
melalui perusahaan besar VOC (Verenigde
Oost Indische Compagnie). Namun hubungan perdagangan hasil-hasil pertanian
ini ternyata jauh lebih menguntungkan Belanda daripada Indonesia. Ini lantaran
tidak terdapatnya “perusahaan besar” Indonesia yang mampu bertindak selaku counterpart VOC.
Ketika datang
serbuan bala tentara Jepang dalam Perang Dunia II, pasukan Belanda lari
ketakutan. Berbeda dengan Indonesia yang tetap bertahan. Akan tetapi ketika
Jepang dikalahkan sekutu, Belanda secara “bersembunyi” datang ke Indonesia di
belakang pasukan Inggris. Tugas pasukan Inggris sebenarnya hanyalah melucuti
pasukan Jepang dan mengembalikan mereka ke kampung halamannya. Tidak ada tugas
Inggris dan pasukan sekutu untuk mengembalikan Indonesia ke tangan Kerajaan
Belanda. Di sinilah terdapat perbedaan pendapat antara Indonesia dengan
Belanda. Rakyat Indonesia menganggap daerah bekas jajahan Belanda ini sebagai
milik mereka sebenarnya. Maka, diproklamasikanlah kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus 1945. Bila Indonesia ini memang milik Belanda, tutur Sjahrir,
seharusnya mereka mempertahankannya dari serangan siapapun yang hendak
mengambil alih kepulauan ini. Tetapi itu tidak pernah mereka lakukan.
Di akhir
ulasannya, Sjahrir menekankan agar Dewan Keamanan melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan gencatan senjata, disamping perlunya dibentuk badan arbitrase yang
akan menyelesaikan persengketaan di antara Indonesia.
Faris
el-Khouri langsung melanjutkan sidang pada hari itu, sebab Dewan Keamanan
dengan demikian dinyatakan berhak membahas dan mengambil keputusan terhadap
sengketa Indonesia-Belanda. Pada 23 Agustus hingga 2 November 1949, digelar
Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Hasilnya Belanda mengakui kedaulatan
Republik Indonesia. Segera setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia,
Indonesia lebih erat mempertautkan diri dalam pergaulan antarbangsa dengan
resmi menjadi anggota PBB pada 28 September 1950.
Dekalonisasi, Demokratisasi dan HAM dalam Konteks Perang
Dingin
Dalam latar
Internasional, kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia itu bertaut dengan
gelombang dekolonisasi, terutama di Asia dan Afrika, pasca Perang Dunia II.
Hasrat untuk menentukan nasib sendiri dan terbebas dari pelbagai bentuk
penindasan, yang berasosiasi dengan kemenangan negara-negara demokrasi Barat
yang telah mapan dalam Perang Dunia II, tampaknya menjadi salah satu alasan pokok
mengapa banyak negara pasca-kolonial berpaling kepada sistem pemerintahan
demokratis.
Gelombang
dekolonisasi, demokratisasi dan perhatian internasional pada HAM ini menentukan
sandungannya ketika dunia segera memasuki suasana Perang Dingin, yang menampilkan
persaingan sengit, ketegangan dan kompetisi antara AS dan sekutunya (Blok
Barat) dan US beserta sekutunya (Blok Timur) di pelbagai bidang kehidupan.
Meskipun kedua negara adikuasa itu tidak pernah bertempur secara langsung,
konflik diantara keduanya secara langsung atau pun tidak langsung telah
menyebabkan pelbagai perang atau ketegangan, serta menghambat pelaksanaan
proyek HAM PBB, baik dalam hubungan antarbangsa maupun di dalam bangsa-bangsa.
Posisi Indonesia dalam Konteks Perang Dingin
Memasuki suasana
Perang dingin, Indonesia berusaha konsisten dengan prinsip yang menjunjung
tinggi kemerdekaan sebagai hak setiap bangsa dan warganya, serta prinsip yang
menekankan ko-eksistensi damai dan secara aktif ikut melaksanakan ketertiban
dunia.
Prinsip kemanusiaan
menurut alam pemikiran Pancasila menjadi sintesis antara pendukung ajaran Declaration of American Independence dan
Manifesto Komunis. Soekarno
mengatakan bahwa Indonesia tidak mengikuti konsep liberal maupun komunis, namun
mempunyai sesuatu yang lebih cocok yaitu Pancasila.
Pilihan posisi
Indonesia untuk memperjuangkan koeksistensi damai dalam suasana perang dingin
itu dirumuskan oleh Mohammad Hatta dengan prinsip poliktik luar negeri bebas
aktif. Ia menangkap potensi konflik internal antar kelompok elite sebgai
luberan konflik eksternal setelah persetujuan Linggarjati dan Renville.
Prokontra terhadap kedua persetujuan antara pemerintah Indonesia dan
pemerintah kerajaan Belanda merupakan
gambaran konkret dari dinamika poliktik internasional dari pertentangan politik
antara adikuasa AS dan US. Hatta mulai memformulasikan adagium politik luar
negeri yang bebas seraya tetap aktif memperjuangkan kemerdekaan, perdamaian,
dan kadilan dalam pergaulan antarbangsa. Kemudian Indonesia terdorong untuk
berperan aktif dalam mempromosikan gerakan non-blok.
Gerakan
Non-Blok didirikan berdasarkan 10 prinsip dasar yang disepakati dalam KTT
Asia-Afrika yang juga disebut sebagai Dasasila Bandung. Sebagaian diantaranya
adalah menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan yang termuat dalam
piagam PBB, menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa,
mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, dsb.
Pilihan
Indonesia atas politik luar negeri bebas aktif menempatkannya dalam perpaduan
antara perspektif teori ‘idealisme politik’ dan ‘realisme politik dalam
hubungan internasional. Sebagai tempat persilangan arus-arus internasional,
Indonesia ikut hanyut dalam dekolonisaasi yang bertaut dengan gelombang kedua
demokratisasi di bumi.
Setelah sekian
lama berada di bawah dominasi asing yang tidak dijalankan dengan prinsip
akuntabilitas yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat koloni, Indonesia
mengalami kesulitan untuk mengembangkan pemerintahan yang memadai dan responsif
dan juga karena pemerintah tidak mampu untuk memenuhi harapan rakyat.
Ketegangan dalam kehidupan nasional yang bertaut dengan ketegangan
internasional lantas diproyeksikan ke dalam sikap internasionalisme Indonesia.
Karena
terdapat konfrontasi antara Indonesia-Malaysia, sebuah perang mengenai pulau
Kalimantan, Soekarno kemudian manarik keanggotaan Indonesia dari PBB pada 20
Januari 1965. Kemudian pada 19 september 1966, Indonesia kembali menjadi
anggota PBB.
Perbedaan Perspektif
tentang HAM: Universalisme vs Partikularisme
Akar
kontroversi penerapan HAM di negara-negara Dunia Ketiga bermula dari perbedaan
persepsi mengenai watak HAM sebagai eskpresi budaya. Terdapat dua narasi yaitu
universalisme dan partikularisme yang mengakibatkan perbedaan pemahaman atas karakter
HAM, pentingnya individu sebagai lawan hak masyarakat, dan penentuan waktu
penahapan implementasi HAM dan penegakannya (Hernandez, 1995). Semua
titik divergensi itu memunculkan rasa tidak percaya dan ekspresi permusuhan.
Secara umum, kaum universalis menegaskan bahwa HAM adalah
hak semua orang dan berasal dari konsep
hukum alam yang menegaskan bahwa manusia
memiliki hak alamiah tertentu untuk idup, bebas dan punya kepemilikan
(Hernandez, 1995). Untuk memiliki HAM,
seseorang harus dipandang sebagai manusia (Preis, 1996). HAM merupakan
hak alami dan terkandung dalam diri manusia sejak manusia dilahirkan, jadi
berlaku secara universal dan penguasa tidak boleh mengasingkannya dari warga
negaranya.
Persepsi kaum partikularis adalah norma-norma HAM tidak
muncul dari ruang hampa melainkan dibentuk oleh seperangkat pengalaman
masyarakat tertentu. Karena setiap
masyarakat memiliki kondisi sejarahnya tersendiri, hanya aspek-aspek HAM
tertentu yang dapat diterapkan pada masyarakat tertentu, sehingga dapat
berbeda-beda (Hernandez, 1995). Noerma-norma HAM merefleksikan aspirasi Barat
sehingga merupakan sebuah konstruksi ‘etno-sentris’ dengan penerapan yang
terbatas (Brems, 1997).Perspektif kaum partikularis menyatakan bahwa pondasi
ontologis budaya dan masyarakat mereka, dan keterkaitan individu dengan
individu lain dan masyarakat, dalam beberapa hal berbeda secara signifikan
(Pollis, 1996).
Titik divergensi ketiga berkenaan dengan isu status
komparatif individu dan hak kolektif, karena kaum universalis lebih menekankan
pada hak individu sedangkan kaum partikularis menekankan pada hak kolektif.
Kaum partikularis juga menayatakan bahwa manusia lebih mengalami dirinya
sendiri sebagai orang yang memiliki status turunan sebagai anggota kelompok
yang lebih besar (keluarga, suku, kelas, bangsa, dll) dan lebih menekankan pada
kewajiban dan tanggung jawab timbal-balik debandingkan dengan hak.
Menurut mereka, implementasi HAM harus komprehensif dan
menyatu, sedangkan kaum partikularis menyatakan bahwa meski HAM itu menyeluruh
dan utuh, HAM harus dapandang dalam konteks satu proses dinamis negara-negara
tertentu (Pollis, 1996).
Karena
titik-titik divergensi tersebut,
masing-masing pihak menunjukkan saling tidak percaya dan curiga. Kaum
universalis menuduh pemerintah negara Dunia Ketiga mengeksploitasi argumen
partikularis untuk membenarkan kuatnya negara dan menerapkan tujuan-tujuan
nasional demi kesejahteraan masyarakat (Cohen, 1996). Sementara itu, kaum partikularis mengklaim
bahwa alasan universalis digunakan pemerintah-pemerintah Barat sebagai senjata
politik untuk menekan daya kompetitif ekonomi dalam pembangunan ekonomi. Mereka
juga menuduh pemerintah negara-negara Barat tidak konsisten dan menggunakan
standar ganda dalam menerapkan prinsip-prinsip HAM yang universal.
Persoalan
HAM dan Relevansi Internasionalisme di Era Globalisasi
Globalisasi
modern dan postmodern menemukan pijakannya dari perlombaan gengsi antarnegara
adikuasa yang mengarah pada penemuan teknologi mutakhir, terutama dalam bidang
persenjataan. Pada 4 Oktober 1957, satelit pertama buatan manusia, “Sputnik 1”,
diluncurkan oleh Uni Soviet. Pada 31 Juli 1958, AS berhasil meluncurkan satelit
pertamanya, “Explorer 1”.
Keberadaan satelit ini, yang kemudian
disusul oleh penemuan fiber optic, serta aneka kecanggihan teknologi informasi
dan telekomunikasi, menandai era baru dalam komunikasi antarmanusia. Menurut
Anthony Giddens, globalisasi dini adalah intensifikasi relasi-relasi social
dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa
local dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi jauh di seberang dan
begitu pun sebaliknya.
Revolusi di bidang teknologi informasi
dan telekomunikasi membawa “distansiasi ruang-waktu” (time-space distanciation)
sekaligus “pemadatan ruang-waktu” (time-space compression) yang merobohkan
batas-batas ruang dan waktu konvensional. Dengan fenomena ini, globalisasi
merestrukturisasi cara hidup umat manusia secara mendalam, nyaris pada setiap
aspek kehidupan. Dampak yang ditimbulkan dari globalisasi bersifat mendia, yang
dikenal dengan istilah “global paradox” dapat
memberi peluang dan hambatan, positif dan negative.
Pada ruang lingkup Negara-bangsa
(nation-state), di satu sisi, globalisasi menarik (pull away) sebagian dari
kedaulatan Negara-bangsa dan komunitas lokal, tunduk pada arus global
interpendence, yang membuat Negara-bangsa dirasa terlalu kecil untuk bisa
mengatasi tantangan global. Kelemahan suatu elemen Negara terhadap penetrasi
kekuatan global ini bisa melumpuhkan
dirinya, bahkan Negara adikuasa seperti Uni soviet menjadi korban globalisasi.
Mismanajemen yang bertaut dengan tekanan globalisasi memaksa pemimpin Uni
Soviet Mikhail Gorbachev meluncurkan program reformasi, perestroika dan
glasnost. Bagi Indonesia sendiri, globalisasi modern membawa politik nasional
ke pusaran gelombang demokratisasi ketiga di dunia. Gelombang demokratisasi ini
melanda Indonesia ketika otoritas Negara mendaatkan tekanan yang serius dari
penetrasi kekuatan global.
Antara 1960 dan 2006, anggota PBB
bertambah hampir dua kali lipat dari 99 menjadi 192, dengan pertambahan cepat
terjadi menyusul kehancuran Blok-Timur (antara 1992-2006 terjadi penambahan
sekitar 13 anggota baru). Seiring dengan itu, antara 1975 dan 2002, lebih dari
60 (asosiasi) kebangsaan diterima sebagai anggota baru Federation of
International Football Association (FIFA). Bagi Indonesia sendiri, tekanan
globalisasi yang bertaut dengan demokratisasi ini mendorong otonomisasi daerah
dan pemekaran wilayah disertai kecenderungan revivalisme etno-religius.
Perdagangan dunia saat ini jauh lebih luas cakupannya dan instan kecepatannya
di banding periode mana pun dalam sejarah umat manusia, yang paling menonjol
adalah lonjakan dalam tingkat arus financial dan capital yang difasilitasi oleh
perekonomian elektronik.
Globalisasi membelah dunia ke dalam
pihak yang menang (winners) dan yang kalah (losers), serta menumbuhkan
ketidaksetaraan baik secara internasional maupun dalam Negara-bangsa.
Globalisasi bukan saja menimbulkan “global village” (dusun dunia), tetapi juga
“global pillage” (perampasan dunia). Globalisasi juga menjadi kendaraan emas
bagi para pendukung pasar bebas untuk mendorong liberalisasi perdagangan dan
investasi dalam skala mondial. Globalisasi dan perdagangan bebas juga mengandung
kemungkinan gejala “penunggang bebasnya” (free riders) tersendiri, bahwa suatu
organisasi bisa melakukan tindakan diluar tujuan awalnya, bahkan melakukan
sesuatu yang berkebalikan. Hal inilah yang terjadi dengan IMF dan World Bank,
ketika didirikan premis kebijakannya diletakkan pada pengandaian John Maynard
Keynes, tetapi kemudian IMF menjadi pintu bagi terjadinya globalisasi korporasi
dan juga kegiatan spekulasi tingkat dunia tanpa memerhatikan dampak tingkah
lakunya.
Liberalisasi perdagangan diikuti oleh
kecenderungan berkurangnya kebebasan pemerintan nasional untuk menentukan
kebijakannya, akibat dari adanya pengaruh kekuatan komersial (keuangan
internasional dan multinasional) dan lembaga supra-nasional (Bank Dunia, IMF,
dll). Dengan perluasan pasar tanpa kepedulian social, globalisasi pasar
meningkatkan keridakseraan di dalam Negara, dan jurang pemisah yang semakin
lebar antara Negara maju dan berkembang.
Badan hak asasi manusia PBB telah
mencermati dampak negative dari globalisasi pasar neo-liberalisme atas hak
asasi manusia, secara khusus pada hak ekonomi, social, dan budaya. Studi
penting telah dihasilkan dalam kerja Sub-commission on Prevention of
Discrimination and Protection of Minorities (disebut Sub-Komisi), Commission on
Human Rights (disebut Komisi), UN High Commissioner for Human Rights (UNHCHR)
atau oleh Secretariat of the United Nations (Sekratariat PBB). Studi pionir
disiapkan oleh danilo Turk untuk sub-komisi, menunjukkan tidak adanya perhatian
yang serius pada hak ekonomi dan sosial.
Dihadapkan pada tantangan
globalisasi modern,reformasi terhadap PBB mutlak dilakukan untuk membuatnya
lebih efektif , lebih representative dan lebih bertanggung jawab dalam memenuhi
tantangan global yang semakin kompleks. reformasi ini harus mempertimbangkan
terjadinya pergeseran dalam kekuatan ekonomi dan keseimbangan kekuasaan di
tingkat global. Seperti yang dicatat
oleh Paul Kennedy yaitu ada beberapa prediksi pergerakan kekuatan ekonomi dan
militer yaitu : salah satunya adalah ketika PBB merayakan ulang tahun ke
seratusnya pada 2045, China bisa menjadi kekuatan ekonomi dan produktif
terbesar di dunia , bahkan lebih besar dari Amerika Serikat. Dengan adanya pergeseran cepat dalam kekuatan
ekonomi , yang pada gilirannya akan berimbas pada keseimbangan kekuasaan.
Reformasi juga harus mempertimbangkan munculnya berbagai tekanan global untuk
menjaga kelangsungan hidupnya.
Pilihan untuk memusnahkan
PBB tidak realistic karena banyak bangsa yang sudah melakukan investasi dalam
PBB. Kemungkinan yang ada adalah melakukan perubahan secara gradual terhadap
Piagam dan kelembagaan PBB yang menyangkut peninjauan kembali ketentuan
dukungan dua pertiga mayoritas suara serta persoalan hak veto yang dapat
menjamin kesetaraan, pengurangan indenpendensi institusi dan penataan
kelembagaan lainnya. Singkat kata,
intensifikasi globalisasi modern menuntut setiap bangsa untuk lebih memiliki
wawasan internasionalisme dalam rangkat ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang menjamin kemerdekaan,perdamaian dan
keadilan dalam pergaulan antarbangsa. Sebuah negara menurut Paul kennedy akan
tetap bertahan asal para pemimpin dan warganya responsive terhadap globalisasi.
Negara juga memiliki peran
sentral dalam penegakan HAM internasional dimana menurut hukum hak asasi manusia sebagaimana
dinyatakan dalam International Bill of Human Rights. Pertanggungjawaban untuk
mewujudkan hak asasi manusia dalam hukum internasional berada di tangan
negara. Untuk menghidupkan tanggung
jawab itu negara harus memikul 3 perangkat kewajiban untuk menghormati,kebebasan
individu dan untuk memenuhihak tersebut baik melalui fasilitasi atau melalui
penyediaan akses pada kesejahteraan yang mencakup kebutuhan dasar seperti
papan,pangan, pendidikan dan kesehatan
Pada akhirnya perkembangan ada yang
bersifat paradoks dimana di satu sisi, globalisasi mengurangi otoritas
negara-bangsa,sedangkan di sisi lain, negara yang mampu mengambil keuntungan
dari globalisasi justru negara yang kuat. Pengertian kuat disini tidaklah sama
dengan otoritarianisme melainkan merujuk pada kepastian negara untuk
mempertahankan otoritasnya melalui regulasi dan penegakan hukum. Oleh karena
itu harus ada keseimbangan antara komitmen internasionalisme dan
nasionalisme,pemberdayaan international governance dan pemberdayaan negara.
Peran sila kedua pada hal ini adalah seperti dikatakan oleh Bung Karno yaitu
“Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya
nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam
tamansariny ainternasionalisme.”
Membumikan Kemanusiaan
dalam Kerangka Pancasila
Prinsip kedua dari pancasila mencerminkan kesadaran
bangsa Indonesia sebagai bagian dari kemanusiaan universal. Indonesia menjadi
kuali pelebur antar peradaban yang tidak pernah jeda menerima pengaruh global,
yang bersifat postif-konstruktif maupun yang negatif-destruktif. Besarnya
kontribusi antarperadaban dalam formasi kebangsaan Indonesia. Menjadikan bangsa
Indonesia berterimakasih pada kemanusiaan universal (humanity) yang
mendorongnya berperan aktif dalam memuliakan nilai-nilai kemanusiaan baik dalam
pergaulan antarbangsa maupun dalam pergaulan nasional.
Sejak awal perjuangan kemerdekaan, revolusi Indonesia
dipandang sebagai revolusi kemanusiaan. Soekarno mengatakan, “satu banjir yang
maha sakti, banjir daripada revolusi Indonesia yang sebenarnya adalah sebagian
daripada revolution of mankind.” Bung karno ingin mengingatkan bahwa revolusi
yang sejati adalah revolusi kemanusiaan sendiri.
Dalam pidato pembelaannya yang tersohor di depan
sidang pengadilan Den Haag, 9 Maret 1928, Bung Hatta juga menampilkan bahasa
dan wacana tentang “prinsip kesamaan” kemanusiaan antarbangsa. Bahasa dan
wacana ini jugalah yang di lancarkan oleh Soewardi Soerningrat kala menulis Als
ik eens Nederlander was atau oleh Bung Karno kala menyampaikan risalahnya yang
terkenal, Indonesia Menggugat! Pada tahun 1926, Bung Hatta bahkan telah
melontarkan kritik tajam mengenai antargonisme antara Eropa dan Asia yang tidak
lain adalah antagonism antara whitemanity melawan humanity. Maka tidak heran
kalau spirit humanitarisme dan egalitarianism itu pun muncul bersamaan dengan
spirit nasionalisme yang tumbuh dalam alam piker yang tengah bergelora untuk
menghantam penjajah. Spirit itu kemudian tercermin pada Pembukaan UUD 1945. Hal
pertama yang dinyatakan dalam pembukaan tersebut adalah mengaitkan proklamasi
kemerdekaan Indonesia dengan kemanusiaan universal. Dalam alinea pertama
dikatakan, “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Sejak berdirinya republik ini, para pendiri bangsa
telah menekankan unsur-unsur penting yang harus dijunjung tinggi oleh sebuah
bangsa yang merdeka dan beradab, yakni : kemanusiaan, keadilan, dan penghargaan
antar bangsa yang berarti pula penghormatan terhadap internasionalisme. “Kita
bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju
pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa,” kata Bung Karno pada 1 Juni 1945.
Dengan demikian, sejak awal berdirinya, Indonesia dibangun atas kesadaran
internasionalism. Tetapi paham internasionalisme itu juga diberi sentuhan dan
bobot spirit egalitarianism. Kesadaran akan kesamaan dan kesederajatan
antarbangsa yang dilandasi oleh penghargaan atas martabat manusia dan saling
hormat antarsesama warga bangsa dan umar manusia. Karena itu dengan tegas
hendak diperjuangkan kesadaran bahwa penjajahan harus dihapuskan dan
ketidakadilan harus disingkirkan.
Nasionalisme Indonesia dengan demikian memperjuangkan
kesamaan kemanusiaan yang akhirnya terpatri secara utuh dam cemerlang dalam
(sila kedua) pancasila. hal ini senafas dengan semangat dan prinsip para
pendiri bangsa. Pada diri Soekarno, terpancar personifikasi dari ideal-ideal persatuan
dan kegotong royongan. Pada sosok Mohammad Hatta, tejelma personifikasi cita
cita kedaulatan rakyat dan egalitarianism.
Pada diri Tan Malaka tampak sesosok ideal indoesia yang bebas. Pada diri
Sjahrir, terjelma cita-cita Indonesia yang humanis. Pada diri Natsir, terpancar
ideal sosok Indonesia yang religious.
Dalam rangka memenuhi
sifat adil, Bung Hatta mengingatkan, “Yang harus disempurnakan dalam Pancasila,
ialah kedudukan manusia sebagai hamba Allah, yang satu sama lain harus merasa
bersaudara. Oleh karena itu pula sila kemanusiaan yang adil dan beradab
langsung terletak di bawah sila pertama. Dasar kemanusiaan itu harus
dilaksanakan dlam pergaulan hidup. Dalam segala hubungan manusia satu sama lain
harus berlaku rasa persaudaraan.” Persaudaraan itu menembus batas nasional,
yaitu persaudaraan manusia antar bangsa. Dan persaudaraan antarbangsa-bangsa
dengan prinsip kesederajatan manusia. Menyangkut sifar peradaban, Ki Hajar
Dewantoro mengatakan bahwa, “Pancasila menjelaskan serta menegaskan corak warna
atau watak rakyat kita sebagai bangsa-bangsa yang beradab, bangsa yang
berkebudayaan, bangsa yang menginsyafi keluhuran dan kehalusan hidup manusia.
Sebagaimana kata Bung
Karno bahwa kita tidak menganut paham nasionalisme yang picik, melainkan nasioanalisme
yang luas. Internasionalisme bagi Soekarno sama dengan “Humanity”,
perikemanusiaan. Pendapat seperti ini sesungguhnya bersinggungan dengan
berbagai anasir pemikiran internasional, seperti konsepsi kemanusiaan universal
dalam agama-agaman serta gerakan sosialisme abad ke-19 dan permulaan abad
ke-20. Soekarno juga terinspirasi oleh Gandhi yang pernah mengatakan bahwa “My
nationality is humanity”. Namun, Bung Hatta mengingatkan, “berhubung, dengan
power politics, kita harus berhati-hati mengartikan internasionalisme sama
dengan “humanity”. Bung Hatta memandanag
sila kedua pancasila memiliki konsekuensi ke dalam dan keluar. Ke dalam,
menjadi pedoman Negara untuk memuliakan nilai-nilai kemanusiaan dan hak dasar/asasi
manusia, dengan menjalankan fungsi “melindungi segenap bangsa indoneisa dan
seluruh tanah tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan
mencerdaskan kehidupan bangsa”. Keluar. Menjadi pedoman politik luar negeri
bebas aktif dalam rangka “ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Prinsip persaudaraan
universal menurut sila Kemanusiaan, yang memberi keseimbangan antara pemenuhan
hak individu dan hak sosial (kolektif), menjadi landasan untuk membangun Negara
bangsa yang humanis. Dengan prinsip kesamaan kemanusiaan yang adil dan beradab,
komitmen kemanusiaan dan ikatan persaudraan bangsa Indonesia menembus
batasan-batasan local, nasional, atau regional, menjangkau persaudaraan
antarmanusia dan antarbangsa secara global. Kemanusiaan Indonesia yang
dicita-citakan oleh para pendiri Republik ini adalah “Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab” dalam berbagai dimesi dan manifestasinya. Dimensi humanitarianisme dan
universalitas hadir begitu kuat mewarnai sila kemanusiaan. Prinsip
egalitarianism dan emansipasi tampak kental, meski secara tersirat. Dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab tidak lain adalah kelanjutan dengan disertai
perbuatan dalam praktik hidup dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab itulah
dalam urutan sila-sila Pancasila letaknya tidak dapat dipisahkan dari dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti juga dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa,
dasar ini sifatnya universal, tidak terikat kepada batas Negara atau corak
bangsa. Kalau sila Ketuhanan memberikan tekaanan hubungan yang berdimensi
vertikal, yang transcendental, maka sila Kemanusiaan menekankan hubungan
horizontal.
Dengan Demikian, seperti
dinyatakan oleh Notonagoro (1974), “Sila kedua : Kemanusiaan yang adil dan
beradab adalah diliputi dan dijiawi oleh sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
meliputi dan menjiwai sila-sila persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Kesimpulan
Sila perikemanusiaan yang adil dan beradab, apabila
digali, merupakan visi bangsa Indonesia yang mengandung begitu banyak nilai
manusiawi yang bisa dijadikan pegangan dalam mengantisipasi tantangan
globalisasi. Di tenagah krisis dan tantangan globalisasi, Indonesia harus mampu
mengambil posisi nasional menyangkut hubungan internasional, sikap empati bagi
yang menderita, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam memcahkan
konflik dalam masyarakat. Suatu “vision” perlu didukung oleh “passion”
(kekuatan batin), agar ideal-ideal kemanusiaan bisa diwujudkan di bumi
kenyataan.
Pancasila seharusnya
dijadikan sebagai prinsip pemberadaban manusia dan bangsa Indonesia.
Masalah-masalah nasioanal yang menentukan jalannya sejarah bangsa Indonesia
sepatutnya dipernyatakan dan direfleksikan dalam kerangka pancasila, terutama
sila kemanusiaan yang adil dan beradab.
Di tengah tekanan
globalisasi yang semakin luas cakupannya dalam penetrasinya dan instan
kecepatannya, sifat masyarakat Indonesia yang cenderung lentur dalam menerima
pengaruh global bisa bersifat positif dan negative. Positif, unsur-unsur
positif-konstruktif menuruit niali-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab,
yang menguatkan cita-cita kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial. Negatif,
unsur-unsur negatif-destruktif menurut niali-nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab, yang menimbulkan ketergantungan (neokolonialisme), permusuhan dan
ketidakadilan. Dalam intensifikasi aneka pengaruh internasioanal, diperlukan
kepemimpinan (masyarakatpolitik dan sipil) yang kuat. Kepemimpinan yang mampu
melakukan seleksi dan sintesis kreatif antara global vision dan local wisdom,
antara kepentingan nasional dan kemaslahatan global, dengan mengedepankan
kerangka penyelesaian berdasarkan prinsip “sama-sama menang” (win-win solution)
dan pembangunan berbasis hak (right-based development).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar